Selasa, 26 Mei 2009

Gerentes Hate " SAMAGAHA"

Samagaha

Tresna kacida rongkahna. ningal rindat nu mawa tibelat,
reret nu mantak nyeredet, dilak nu salawasna kapicangcam,
teuteup seukeut nu nembus kana ieu jajantung.
Samagaha tresna dina ieu kahirupan
Mindingan asih anu geus dua windu dina ngojayan sagara tresna.
Asih anu geus ngabukti ku ayana buah ati titipan Gusti.
Enya,
Ukur patamorgana dina ieu teuteupan
Moal bisa kapibanda nu saenyana, sanajan duriat kacida rongkahna.
Ukur harepan nu bakal katangsu, ukur lengkah nu bakal mawa salah.
Hampura geulis,
Akang ngumbar sawangan lain diri anjeun,
Geus micinta nu lain kuduna.
Samagaha moekan urang dina lalayaran mapay sagara kahirupan.Hampura, mun ieu diri katangsu.
SAMBAS BARA, Karawang 2005

Gerentes Hate " Di BASISIR LAUT KALER"

DI BASISIR LAUT KALER

Sisi basisir laut kaler
Parahu-parahu pamayang geus pada miang.
Neang harepan nu taya watesna.
Kuring nangtung sisieun parahu nu tacan medal
Neuteup sagara nu nu seah ku sora lambak

Asa kamari anjeun aya gigireun.
Calik dina salambar samak daun pandan.
Ngedalkeun carita anjeun anu tunggara.
Bari rambay ku ci soca.

Anjeun janji moal bakal sulaya.
Neundeun harepan asih nu ngancik na hate kuring.
Pedareun kahareup mangsa udarna bujang jeung lajang.

Aya welasna taun urang pa anggang.
Dua windu urang teu tepung.
Enya,
Geuning urang ukur boga kahayang jeung ihtiar.
Mung Gusti nu boga kapastian.Anjeun nu pasini, geuning taya laratan.

SAMBAS BARA. Karawang 2003

Gerentes Hate " UKUR HAREPAN"

UKUR HAREPAN


Nyai.
Tuh mata poe nu ngintip tina sela-sela tangkal jati,
Katingal dina herangna cai situ kamojing
Nenjo ramo-ramo anjeun anu ngepeul sagagang kembang,
Dina keukeupan anu pageuh pinuh ku kadeudeuh.

Simpe,
Sora anjeun ukur renghapna dada,
Teuteupan anjeun ukur geterna rasa.

Galura katresna nyaliara,
Mapay waruga nu pinuh ku kabagja.
Nyangreudkeun tali batin dina sanubari,
Nitipkeun asih nu nitis najero ati.

Nyai,
Geuning wanci nu mawa jalir
Anjeun sulaya kabawa robahna jaman.
Pasini jangji, pasang subaya dina welasna taun anu kaliwat,
Ukur jadi panineungan.
Tuh jati,
Tuh cai,
Tuh kembang, nujadi saksi
Kiwari sirna mindingan katresna urang duaan
Cag.

SAMBAS BARA Karawang 2003

Cerpen "CERMIN TANPA BINGKAI"

Cerpen Sambas Bara
CERMIN TANPA BINGKAI

Seusai sholat subuh Pak Guru Aang membantu istrinya di dapur membuat gorengan bala-bala dan goreng pisang yang akan dijajakan pagi-pagi di depan rumahnya. Yang biasa dijajakan untuk anak-anak sekolah. Karena Pak Aang menempati rumah dinas yang ada di lingkungan sekolah dasar.
“Bu jangan terlalu banyak membuat bala-balanya !” kata Pak Aang sambil menengok ke istrinya yang sedang membuat adonan.
“Memangnya kenapa Pak ?” isrtrinya menyahut.
“Kemarin juga kan tidak habis, sekarang sudah mulai musim paceklik mungkin anak-anak banyak yang tidak diberi uang,” jawab Pak Aang.
“Ah, enggak apa-apa Pak, tidak habis juga biasa kita makan dari pada kita jajan ke warung orang.“
“Iya sih, tapi kira-kira saja bu, supaya sisanya itu habis untuk kita makan,” Pak Aang mengingatkannya dengan kalimat yang lain. Karena sudah beberapa hari ini dagangannya tersisa terus padahal biasanya kurang, kadang-kadang Bu Aang harus menggoreng lagi ketika anak sekolah sudah masuk dan dijajakan ketika sekolah istirahat.
“Ini Pak, sudah selesai adonannya saya mau sholat dulu tolong digorengin ya,” kata istrinya sambil berdiri.
“Ya sini,” kata Pak Aang sambil memegang panci adonan yang diberikan istrinya. Lalu meneruskan pekerjaannya untuk menggoreng.
Keriangan anak memenuhi halaman sekolah, seusai menyimpan sepeda digarasi yang sangat sederhana terbuat dari bambu, anak-anak lalu masuk kelas untuk menyimpan tasnya lalu keluar lagi, tapi ada juga yang langsung menghampiri pedagang jajanan. Namun tidak sedikit anak-anak yang tidak ikut jajan karena tidak dibekali uang oleh orang tuanya, maklum saja musim paceklik sedang berjalan untuk menunggu musim panen tiba masih harus menunggu dua bulan lagi. Sambil menunggu waktu jam belajar tiba Pak Aang menungui dagangannya dan Ia membuka-buka buku pelajaran sekolah untuk persiapan ia mengajar. Sedangkan istrinya masih didapur untuk mempersiapkan sarapan pagi untuk Pak Aang berupa segelas teh tubruk.
“Pak ini beli bala-bala dua !” kata Rini sambil memberikan uang lima ratus rupiah yang ditemani Yani.
“Ya ini kembaliannya Rin, kamu tidak jajan Yani ?” Pak Aang memberikan uang kembalian tiga ratus pada Rini.
“Tidak diberi bekal Pak, !” kata Yani dengan pelan.
“Bapaknya belum pulang-pulang sudah seminggu, “ kata Rini
“Memangnya kemana Bapak kamu Yan ?”
“Kata Ema ke Jakarta Pak, mau itu kuli bangunan“ Yani menjawab.
“Oh, “ Pak Aang seperti sudah mengerti banyak. Walau haya sepatah kata yang ia ucapkan. Karena Pak Aang hampir hapal semua dengan keadaan keluarga siswa yang ada di sekolah itu. Begitupula dengan orang tuanya yang kebanyakaan buruh tani. Tidak heran lagi karena bayaran saja yang harus dibayar tiap bulan kebanyakan dibayar dua kali dalam setahun yaitu ketika panen tiba. Penghasilan lain nyaris tidak ada karena jauh dari keramaian kota bahkan pasar desa pun tidak ada. Selain pasar kaget yang ada seminggu sekali tiap hari jumat ketika panen tiba.
“Yan, kalau tidak di beri bekel kamu berum sarapan ya ? “ Pak Aang bertanya lagi.
“Belum,” Yani menjawabnya .
“Ini Yan buat kamu !” kata pak Aang sambil memberikan dua potong goreng pisang. Lalu Yani menerimanya dengan malu-malu.
“Terimakasih Pak,” kata Yani sambil meninggalkan Pak Aang.
Pak Aang memperhatikan anak-anak di halaman sekolah. Para pedagang jajanan di sekolah tidak luput dari perhatiannya yang ada di dekat garasi sepeda. Ada penjual Balor, agar-agar, cilok, es mambo, nasi uduk dan macam-macam makanan yang disenangi anak-anak. Dari sekian penjaja makanan anak itu yang Pak Aang perhatikan ternyata dalam tiga hari terakhir adalah penjual cilok selalu dikerumuni anak-anak, mulai dari pagi hingga lonceng berbunyi. Namun Pak Aang tidak tahu jelas mengapa begitu rame, karena melihatnya agak jauh dari rumah dinas tempat Ia berdagang menjajakan dagangannya.
Lonceng berbunyi memecahkan keriangan anak yang sedang bermain di halaman sekolah. Pak Aang bergegas untuk masuk kelas satu setelah hampir semua anak tidak ada yang ada di luar. Setelah memberikan tugas pada jam pertama di kelas satu untuk menulis lalu Ia masuk ke kelas dua yang disatukan dengan kelas tiga dalam satu ruangan, makaksudnya akan menenangkan kegaduhan yang kedengaran ribut ke luar kelas karena gurunya belum datang. Bagi Pak Aang sudah tidak merasa menjadi beban dengan pekerjaan seperti itu karena sudah terbiasa, padahal Ia mengajar dua kelas tetap tiap harinya. Yaitu setelah kelas satu pulang diteruskan dengan kelas empat di ruangan yang sama. Karena tenaga pengajar disekolahnya hanya ada empat orang, itupun dengan Kepala sekolah yang harus mengajar di kelas lima. Serta ruangan kelas yang hanya tiga yang bisa dipakai, tiga ruangan kelas lagi tidak bisa dipakai karena sudah sangat rapuh dindingnya, atapnya bocor, dan lantainya sudah tidak ada ubinnya. Tinggal menunggu roboh ketika angin tiba bila tidak segera diperbaiki
Kelas satu sudah keluar disambung dengan kelas empat. Setelah membaca doa Pak Aang tidak lupa untuk mengabsen siswanya, ternyata satu orang tidak masuk dari tiga puluh dua siswa yaitu Deni. Tapi kata temannya tadi Deni ada di luar.
Tok, tok-tok suara pintu diketuk.
“Masuk !” kata Pak Aang Sambil melihat ke daun pintu yang tertutup rapat. Terdengar pintu didorong dari luar, dari balik pintu muncul anak yang tadi diabsen tidak ada yaitu Deni.
“Maaf Pak, saya terlambat,” kata Deni sambil berdiri di depan meja guru.
“Dari mana kamu Deni kok terlambat, dan itu bawa apa dikantong plastik ?” Pak Aang bertanya sambil menatap Deni yang kelihatan takut.
“A ada Pak, diluar,” menjawabnya gugup.
“Tadi itu Pak, main Tamiya,” temannya yang duduk di belakang ikut menyahut.
“Benar itu Deni ?”
“I iya Pak,” kata Deni tambah gugup
“Mana Tamiyanya ?”
“Ini Pak,” kata Deni sambil memberikan kantong plastik.
“Bapak kan sudah melarang, kalau sekolah jangan membawa mainan karena akan menggangu pelajaran,” kata Pak Aang.
“Tidak Pak, saya tidak bawa dari rumah,“ jawab Deni.
“Ini dari mana ?” tanya Pak Aang sambil menunjukan Tamiya yang belum selesai dirakit. Tetapi tidak ada jawaban, Deni sepertinya tidak mau terus terang.
“Ini dari mana ?” Pak Aang bertanya lagi, tapi Deni masih tetap diam.
“Itu Pak dari tukang cilok, hadiah jembel,” kata Nani yang duduk di depan, yang disusul oleh teman-temannya dengan kalimat yang sama.
“Sst, sudah jangan ribut !” kata Pak Aang sambil menempelkan telunjuk ke bibirnya.
“Betul itu Deni ?” Pak Aang penasaran.
“Be, betul Pak,” jawab Deni ketakutan karena merasa bersalah.
“Ya kalau begitu kamu sekarang duduk, ini tamiya akan Bapak simpan di lemari kalau pulang akan Bapak berikan dengan catatan tidak boleh dibawa ke sekolah”
“Iya Pak,” jawab Deni lalu pergi ke tempat duduknya.
“Silahkan bukunya dibuka !” kata Pak Aang agak keras untuk mengimbangi suara keibutan anak-anak kelas dua dan tiga yang gurunya belum datang juga, padahal sudah diberi tugas tadi oleh Pak Asep guru kelas enam.
“Coba perhatikan kedepan,” kata Pak Aang sambil mengetukan penghapus ke papan tulis berkali-kali sampai semua anak tidak ada yang bicara.
“Kejadian seperti ini bapak berharap tidak terulang lagi, berkali-kali Bapak ingatkan bahwa yang dilarang oleh pemerintah dan agama itu salah satunya yaitu judi. Dan judi itu banyak sekali macamnya, bukan saja main kartu, main unyeng atau pasang togel tapi membeli jembel pun itu termasuk judi, mengapa !, karena disitu ada yang kalah ada yang menang atau banyak yang dirugikan dan sedikit sekali yang diuntungkan. Contoh dari temanmu ini hanya satu orang yang dapat tamiya sedangkan yang lainnya tidak dapat apa-apa selain peremen telor cicak dua butir yang dihargai duaratus rupiah. Padahal uang duaratus rupiah itu bisa kamu dibelikan dengan makanan yang bisa buat sarapan,” Pak Aang mengucapkannya dengan lantang agar bisa diresapi anak didiknaya, karena itu merupakan apresepsi dari pelajaran pengetahuan sosial yang akan ia lanjutkan.
Menjelang tengah hari pelajaran selesai, anak-anak berbenah diri untuk pulang. Tak lupa Pak Aang berpesan bahwa ngaji sore selepas asar dirumahnya tetap berjalan kecuali hari Jumat karena ada kegiatan pramuka di sekolah. Pola ini bergulir tiap waktu dijalani dengan ikhlas tapi tak banyak membawa perubahan pada penghidupan Pak Aang. Bertahun-tahun mengabdi pada negeri, bahkan keringat mengucur deras tak kala meredam anak-anaknya untuk tidak berteriak minta makan. Kesederhanaan, kearifan, kesabaran menjadi Tauladan. Laksana cermin. Cermin bagi lingkungan keluarganya, cermin bagi teman propesinya. Namun cemin tanpa bingkai, bikai kekayaan, binkai jabatan, bahkan bingkai status karena Pak Aang hanya sebagai guru kontrak yang baru diangkat dari guru sukwan yang sudah belasan tahun.***

Cerpen "TULUGASU"

Cerpen
TULUGASU
Oleh : Sambas Bara

Belasan tahun sudah aku jalani. Pekerjaan ini aku pilih karena tak ada pilihan yang lebih baik di benakku. Ini juga yang menjadi cita-cita sejak kecil ketika aku sekolah dasar.
“Doni apa cita-cita kamu setelah besar nanti ? “ tanya Ibu Yani kepada Doni yang menjadi teman akrabku di SD.
“Saya ingin jadi polisi bu,”
“Emangnya mengapa kamu ingin jadi polisi Don ?”
“Polisi kan gagah, pakaiannya bagus, punya pistol, dan kalau ada orang jahat akan saya tembak, dor !” kata Doni sambil menjulurkan kepalan tangan kedepan seperti memegang pistol dan menembakannya.
“Yah, bagus sekali. Mudah-mudahan kamu menjadi polisi yang baik, penegak hukum yang adil dan bijaksana ya. Kalau kamu cita-citanya apa Asep ?” bu Yani mengarahkan pandangannya kepada ku yang duduk di sebelah Doni.
“Saya ingin jadi guru bu,”
“Wah, baik sekali ingin jadi guru, memangnya kenapa sih ingin jadi guru?”
“Guru kan enak, seperti ibu bekerjanya tidak cape. Siang sudah pulang, juga kata pak ustad pekerjaan guru itu sangat mulia karena memberikan ilmu kepada orang lain, asal kita iklas.”
“Benar Asep, pekerjaan guru itu mulia sekali cita-cita kamu pasti tercapai, asalkan kamu rajin belajar ya Sep,“ kata ibu Yani metatapku. Itulah yang selalu ingat dalam pikiranku, walau kejadian itu telah terjadi tiga puluh tahun yang lalu, ketika aku duduk di sekolah dasar kelas satu.
“Ru motornya sudah baru lagi ni,“ terdengar suara yang bertanya sangat akrab dengan panggilanku di tempat aku mangkal, itu membuyarkan lamunan yang asik duduk di atas jok motor.
“Ah kamu Man, “
“Betul kan baru, yang lama kemana ru?” Maman bertanya lagi.
“Dijual, aku butuh duit man.”
“Kok butuh duit jual motor yang jelek malah punya motor yang bagus,“
“Yah motor sekarang kan murah, cuma berat kedepan,”
“Berat apanya ru, emang ban depannya lain apa ukurannya?”
“Ih bukan, maksudnya kedepannya kan harus dicicil tiga tahun!”
“Ah bisa aja, guru kan punya gaji tiap bulan, habis bulan tinggal ngantar ke deler. Kalau saya ngandelin ngojek mana bisa gonta-ganti motor, ini saja dulu uang mukanya dari mertua dan cicilannya sering lambat karena mengandalkan ngojek saja.” Maman mengangap aku lebih senang dari pada hidupnya. Tidak Tahu kalau sepeda motor itu adalah gadaian dari orang.
Padahal kalau aku ceritakan sejujurnya mungkin Maman akan lebih mensyukuri hidupnya. Aku tidak bisa berkata terus terang kepadanya walau sebenarnya ingin sekali mengutarakannya. Aku sangat menjaga wibawa propesiku sebagai guru yang harus menjadi contoh dan teladan buat masyarakat terutama di lingkunganku sendiri. Sebenarnya uang hasil penjualan motor itu aku pakai untuk menutupi utang yang sudah menumpuk karena gaji tiap bulan tidak mencukupi. Kebutuhan sehari-hari saja selalu kurang walau aku punya uang tambahan dari hasil ngojek.
Mungkin karena salah langkah dari awalnya. Ketika aku dapat pinjaman uang dari bank tiga tahun yang lalu sebesar tiga puluh juta yang cicilannya hampir menghabiskan semua gajiku. Tadinya mau aku belikan rumah sebab selama ini hanya menempati rumah kontrakan. Namun waktu itu aku sangat tergiur oleh teman yang mengajak menanamkan modal untuk usaha kerja sama bagi hasil. Sehingga kalau kita hitung katanya tiap bulan kita mendapat laba tidak kurang dari satu juta, hanya laba tersebut hanya bisa diberikan setelah tiga bulan berjalan. Dan itu membuat aku berambisi untuk mengikutinya. Berarti uangku yang dua puluh juta akan utuh sedangkan tiap bulannya akan mendapat satu juta bahkan lebih jika perusahaan yang saya tanami investasi itu untung besar.
Uang segera aku berikan kepada temanku, karena sudah sangat mengenalnya, dan ia juga menjadi penanam modal yang sudah mendapatkan laba satu kali yang nilainya satu juta. Sedangkan uang lebihnya dari pinjaman dari bank itu aku belikan sepeda motor untuk menggantikan posisi sepeda kumbang.
Hari berganti hari, harapan makin mendekat, tiga bulan sudah aku lalui. Keuntungan pertama yang dijanjikan ternyata menjadi kenyataan. Satu juta aku dapatkan hanya dengan ongkang-ongkang. Berarti aku tidak harus susah payah lagi ngojek di pangkalan berebut penumpang dengan tukang ojek lain.
Bulan selaanjutnya, laba yang aku tunggu ternyata hanya dibanyar separuhnya dengan alasan yang kurang jelas, bahkan bulan berikutnya tidak mendapatkan sepeser pun. Aku pun berusaha menanyakannya kepada teman yang menjadi perantara, dia pun tidak bisa berbuat banyak dan tidak bisa mempertanggungjawabkan semua itu karena ia pun sama menanamkan modalnya. Akhirnya uang itu ludes tanpa cerita. Dan sejak saat itu aku menjadi tukang ojek lagi di perapatan yang menjadi pangkalannya sampai sekarang.
Itulah yang menjadi sumber bencana bagi keluargaku, semangat kerja menurun ke sekolah jarang datang, kalaupun datang mungkin belum waktunya pulang sekolah sudah aku tinggalkan. Entah sudah berapa kali Kepala Sekolah mengingatkan agar tidak terlalu banyak meninggalkan sekolah. Rasanya di sekolah seperti kerja bakti karena setiap tanggal bulan sudah tidak mendapatkan gaji. Perapatan dan jalan adalah tumpuan hidupku untuk menghidupi anak dan istri, tukang ojek adalah temanku yang menjadi saingan untuk mendapatkan penumpang. Sesekali aku menjadi mekelar jual beli, bahkan tidak jarang menjadi perantara jasa penarikan uang tabungan di bank yang menjadi simpanan endapan yang seharusnya tidak bisa diambil sebelum cicilannya lunas. Apa saja yang sekiranya bisa menghasilkaan uang aku kerjakan asal tak merugikan orang lain.
Sepertinya aku telah menjadi pendusta, aku mengajarkan kedisiplinan tapi aku yang memberi contoh tidak disiplin dengan jarang masuk mengajar. Aku yang selalu menyuarakan hidup hemat ternyata aku memberi contoh banyak utang. Posisiku mengkin terperosok dalam jurang yang hanya berpegangan pada rumput-rumput kecil yang rapuh, hanya tinggal menunggu waktu jatuhnya. Itu aku sadari dan itu yang sangat tidak diharapkan walau melangkah di jalan yang salah.
Hidup ini makin sulit rasanya, hampir setiap koprasi dan BPR yang menawarkan pinjaman aku selalu mengambilnya. Sehingga untuk membayarnya harus tutup lubang gali sumur (tulugasu). Maka tak ada pilihan lain, atas saran dari istriku untuk meminjam uang di bank menjadi pilihan yang paling meyakinkan agar semua utang bisa terbayar lunas. Walaupun cicilannya masih dua tahun lagi.
“Pak kapan uangnya cair?” istriku menayakan ajuan kridit yang diberikan melalui bendahara.
“Belum ada bu, mudah-mudahan saja minggu depan sudah ada jawaban,”
“Kira-kira kita dapat berapa pak?”
“Mungkin kalau kita dikabulkan lima puluh, sisanya kira-kira tiga puluh jutaan”
“Kalau dapat tiga puluhan, kita beli motor dulu saja Pak yang sepuluh jutaan, motor yang dapat gadai minta di tebus,”
“Iya maksud bapak juga begitu, mudah mudahan saja lancar. Ibu harus bisa membantu memanfaatkan uang itu agar bisa berkembang. Ingat bu, kita harus membayarnya selama delapan tahun.”
“Ibu punya rencana buka warung pak, agar bapak tidak terlau cape ngojek. Lagi pula malu kan, bapak sering meninggalkan sekolah. Sekolah kan kewajiban bapak.”
“Bapak juga sadar bu, tapi mau bagaimana lagi selama ini kan kita sangat terjepit keuangan.”
Seminggu telah berlalu, hari ini aku kembali tidak masuk sekolah. Namun kali ini aku meminta izin kepada kepala sekolah akan mengambil uang di bank. Maksudnya agar tahu karena bagai manapun aku harus menghargainya ia sebagai pimpinanku, bahkan mungkin tanpa tandatangannya ajuan pinjaman ini tak mungkin di kabulkan oleh pihak bank. Ku ajak istriku, dengan langkah pasti.
Di ruangan bank aku antri tidak terlalu lama, karena persyaratannya sudah lengkap. Setelah menghadap pimpinan bank dengan sedikit penjelasan langsung ke teller mengambil uang. Perasaan lega hinggap di dadaku walau itu uang pinjaman, mungkin jadi dewa penolong dalam kesempitan ini. Sambil berdiri aku menatap wajah-wajah di sekitar ruangan antri nasabah, terlihat wajah-wajah cerah penuh harapan. Seakan akan segera meraih kenyataan dari sebuah impian. Tatapan ku terpaku pada wanita tua yang kelihatan masih bugar, ia duduk di kursi paling pinggir tempat menunggu antrian. Ia mengunakan kerudung raut wajahnya seperi aku kenal, bahkan ketika aku menatapnya agak lama ia sepertinya pura-pura tidak tahu. Tapi yakin, aku kenal wanita itu. Sambil berpikir aku mendekatinya.
“Ibu ini saya Asep bu,” kata ku menghampirinya sambil mengulurkan tangan, karena sangat yakin itu Ibu Yani guru ku waktu di SD.
“Eh, Asep!,...yang dulu sebangku dengan Doni kan?” sambil mengulurkan tangannya, lalu kuraih dan ku cium tangannya
“Betul bu,”
“Asep kerja di mana sekarang?”
“Berkat doa ibu, cita-cita saya tercapai bu jadi guru,”
“Syukurlah kalau begitu sep, kalau Doni di mana?”
“Wah, dia mah enak bu, apa ibu belum bertemu, Doni kerja di sini menjadi Kepala Keamanan bank ini bu!”
“Oh ya, syukurlah walau tidak jadi polisi tapi sama saja bisa menjaga keamanan.”
“Ibu mau apa di sini?”
“Ibu mau nabung, insya Allah tahun depan ibu mau menunaikan ibadah haji Sep!”
Pembicaraan dengan ibu terasa sangat mengobati kerinduanku, sampai hampir lupa memperkenalkan istriku yang ada di samping. Bu Yani yang menjadi pemacu semangat untuk meraih cita-cita menjadi guru, sehingga dalam kondisi apapun aku selau ingat pesan Ibu Guruku untuk rajin belajar. Hingga akhirnya cita-cita itu tercapai dengan gemilang. Ibu Yani menanamkan keyakinan di hatiku.***

Cerpen "SENJA HITAM"

SENJA HITAM
Cerpen Sambas Bara.

Sudah tiga jam aku duduk di statsiun kereta untuk menunggu temanku yang janji sehari yang lalu. Entah sudah berapa puluh kereta yang singgah di statsiun tersebut. Sudah terbayang betapa gagahnya yang aku tunggu, karena semalam saja aku sampai tak bisa tidur, seakan ia telah ada di depanku dan bercengkrama, bercumbu mesra.
Aku bangun dari kursi statsiun, HP yang aku pegang terasa sangat membosankan, nomor orang yang aku tunggu tidak diaktifkan. Aku mondar-mandir seperti setrika arang yang kurang panas.
“ Nak, tolong nenek, nak,” terdengar seseorang dengan nada yang sangat parau. Aku memalingkan pandanganku kearah suara itu datang. Seorang nenek dengan wajah yang pucat, pakaiannya sangat lusuh duduk sambil memegang tas besar yang seperti mau bepergian, duduk di teras belakang statsiun tanpa alas. Pandangannya seperti kabur. Aku menghampirinya merasa kasihan.
“Ada apa nek, nenek mau kemana?” aku duduk di dekatnya.
“Nak,…kamu mau kemana, bisa tolong nenek nak, nenek tak tahu harus pergi ke mana,”
“Emangnya nenek mau mencari siapa?”
“Nenek mau ke anak nenek, dulu ada di kota Karawang, tapi nenek lupa lagi,”
“Pekerjaannya apa nek?”
“Tidak bekerja, anak nenek punya bengkel motor,” kata nenek itu seperti cape sekali, napasnya seperti tersendat-sendat. Aku bingung walaupun pertanyaan dijawab oleh si nenek, di sekitar stasiun kereta itu tidak ada bengkel motor, sekarang telah terbentang pertokoan yang mewah dan lengkap, bingung harus menunjukan ke mana.
“Namanya siapa?”
“Budi, nak. “ Aku makin bingung karena tak mungkin mencari nama itu di kota yang sudah padat dengan penduduk.
“Nak, nenek mau cerita, jangan dulu pergi!” Nenek itu memegangi tanganku seperti takut untuk ditinggalkan.
“Cerita apa nek?” Aku jadi penasaran, karena sepertinya ada yang sangat penting untuk diceritakan. Si Nenek meraih botol air mineral yang masih berisi setengah disampingnya. Setelah minum lalu memulai ceritanya.
“Nak, nenek takut tidak bisa bertemu lagi dengan Budi, kalau satu saat bertemu Budi tolong katakan anak telah bertemu dengan nenek, “ berhenti sejenak, lalu melanjutkan untuk bercerita.
“Tiga puluh tahun yang lalu, nenek datang ke kota Karawang. Saat itu masih sepi, di statsiun ini nenek turun dari kereta jurusan Surabaya. Nenek datang mengadu nasib dengan ijasah sekolah kejuruan, meninggalkan segala yang nenek punya di kampung halaman. Karena di tempat nenek di Gunung kidul susah sekali mencari pekerjaan di kantor. Nenek ingin sekali menjadi pegawai kantoran. Singkatnya nenek mendapat pekerjaan dikantor menjadi staf, dua tahun pertama nenek jalani pekerjaan itu rasanya menyenangkan sekali karena pekerjaannya tidak begitu cape walau kadang menyita waktu hingga sore hari. Pada tahun ketiga nenek mendapat jodoh dengan lelaki yang belum lama di kenal yang asalnya dari tetangga kota dimana nenek lahir,” nenek menarik napas panjang.
“Setelah melangsungkan pernikahan di kampung halaman, kembali lagi ke Karawang untuk meneruskan pekerjaan, begitu juga dengan suami nenek yang juga sama bekerja tetapi ia di bagian keamanan di tempat lain. Setelah mengarungi bahtera rumah tangga lima tahun, nenek telah dikaruniai 2 orang anak yaitu Deni dan Budi. Namun sialnya suami nenek di PHK karena terlibat pencuriaan di gudang tempat ia bekerjanya, namun ia tidak sempat di ajukan ke meja hijau karena perusahaan hanya menuntutnya barangnya kembali. Suami nenek jadi pengangguran, tapi mungkin karena ia banyak temannya hingga tidak bekerja saja ia masih bisa memberikan uang, bahkan lebih banyak dari seorang pekerja keamanan. Ketika ku tanya usaha apa yang dilakukan, ternyata ia jual beli kendaraan bermotor bahkan mengajaknya kerja sama dengan nenek, untuk memberikan modal karena untungnya sangat menjajikaan. Dan tak banyak bertanya selain mendukung usaha itu karena untungnya sangat banyak.
Dua tahun pertama usaha jual beli, suami nenek sudah bisa membuat rumah yang permanen. Tiga tahun selanjutnya nenek sudah punya mobil sedan, dan sepeda motor dua buah. Pendek kata nenek sekeluarga sudah subur, tidak ada yang memandang sebelah mata. Bahkan ketika dimanapun berpapasan dengan orang yang kenal sepertinya ia menganggukan kepala. Nenek terbuai dengan gelimangan dunia, belakangan nenek tahu ternyata usaha suami nenek itu jual beli mobil hasil curian. Tapi apa boleh buat terlanjur basah dalam benak nenek, keuntungan dapat diraih sebanyak-banyaknya. Bahkan akhirnya nenek pun ikut transaksi,” nenek terdiam.
“Lalu bagaimana nek?” aku penasaran.
“Ketika nenek sedang senang-senangnya menikmati kemewahan itu, suami nenek mulai jarang pulang. Mulai dari kehilangan semalam sampai berhari-hari, ketika pulang ia sudah mabuk minuman. Kemudian nenek kehilangan selama satu minggu, ada temanya yang memberi tahu ke rumah katanya suami nenek ada di penjara karena menjadi penadah dalam kasus perampokan mobil di jalan tol. Lalu aku berusaha mengeluarkannya dari penjara dengan tebusan yang cukup banyak. Rupanya makin berani dengan kejadian itu,” nenek menarik napasnya lama sekali
“Suami nenek jarang pulang lagi, dirumah sangat kesepian Deni dan Budi ia banyak main di luar bahkan jarang pulang karena mungkin telah beranjak remaja, hanya ketika tak punya uang saja mereka bisa bertemu setelah itu pergi lagi. Dan yang paling menyedihkan kadang-kadang mereka juga pulang mabok. Nasehat tak pernah dihiraukan. Nenek mencari tahu keberadaan suami nenek di mana, namun kali ini ternyata suami nenek sering main cewek di tempat remaang-remang,” Nenek sepertinya kekeringan tenggorokannya, bicaranya sampai terbatuk-batuk. Aku semakin penasaran dengan cerita nenek. Setelah minum nenek melanjutkan kembali ceritanya.
“Dalam kesepian itu nenek sering pulang kampung karena hanya itu obat yang bisa menenangkan hati, aku sering mangkir kerja, bertemu sanak saudara di kampung halaman. Dan karena seringnya nenek pulang kampung, nenek bertemu dengan kekasih lama hingga akhirnya hubungan kami berlanjut sering bertemu, dan sering melakukan yang diluar batas. Kami sering pergi ke penginapan dan hotel. Entah sudah berapa kali tak sempat menghitungnya hingga akhirnya merasa biasa. Rupanya naas ada pada diri nenek, karena satu saat nenek disergap keamanan berada di suatu kamar hotel. Itulah kehidupan masa lalu nenek yang berada di lingkaran setan,” kata nenek seperti penuh penyesalan. Lalu melanjutkannya kembali.
“Nenek di usir dari rumah, karena kejadian itu. Tak satu pun anak nenek membela ketika suami nenek mengadili dan memululi di hadapan Deni dan Budi. Nenek tak sanggup membela diri akhirnya pergi dari rumah yang menjadi hasil jerih payah selama belasan tahun. Tidak pulang kampung karena sangat malu, sementra nenek menumpang dirumah teman, lalu nenek pergi ke kota lain dengan laki-laki yang mau mengajak nenek berumah tangga, saat itu nenek terbilang masih muda umur sekitar empat puluhan. Nenek nekad walau status nenek dengan bapaknya Deni belum cerai. Rupanya kemalangan nenek tidak sampai di situ, karena ternyata suami yang mempersunting nenek mempunyai keluarga yang sah, pertengkaran pun sering menimpa nenek. Yang pada akhirnya nenek ditinggalkan begitu saja seperti sampah.”
“Nenek kehilangan segalanya, tujuh belas tahun nenek telah meninggalkan Deni dan Budi, dengan hati nekad nenek kembali ke Karawang untuk menemui kembali yang telah menjadi keluarga nenek. Sunggguh malah menambah luka dalam hati ini, ketika sampai di rumah yang pernah ditinggalkan ternyata rumah telah berpindah tangan karena telah disita pihak bank, sedangkan suami nenek telah kawin lagi. Yang paling menyedihkan Deni, ia mati tertembak saat melakukan kejahatan curanmor. Sedangkan Budi sudah berkeluarga dan punya sebuah bengkel,” Nenek bicaranya terhenti sambil mengusap air matanya dengan saputangan yang lusuh.
“Apa nenek bertemu tidak dengan Budi?”
“Setelah bertanya pada bekas tetangga sebelah dengan jelas, nenek bisa menemukan alamat Budi dekat statsion, tetapi hingga sore nenek belum bisa menemui Budi karena tidak ada di rumah, sedangkan anak istrinya tidak kenal sama sekali, walaupun sudah menerangkan beberapa kali istrinya budi tetap menolak untuk menerima nenek adalah mertuanya, karena katanya ibunya Budi telah meninggal ketika Budi usia 15 tahun. Nenek pun diusir karena tak sempat bertemu Budi hingga sekarang,”
“Berarti nenek sekarang ke dua kali akan mengunjungi rumah Budi?” tanyaku dengan penuh rasa kasihan.
“Iya, tapi sekarang nenek sudah putus harapan, bagaimana kalau nenek di usir lagi, nenek mau minta maaf, karena tidak bisa mendidiknya, nenek pun menyadari ini semua kesalahan nenek, nenek sungguh menyesal…” nenek menangis dengan napas yang tersenggal-senggal. Aku membiarkan si nenek merangkul di pangkuanku, biarlah mengeluarkan kesedihannya.
Aku kebingungan setelah mendengarkan cerita nenek, aku tak tega untuk meninggalkannya. Walaupun sebenarnya aku dari tadi ingin segera pulang ketika mendengar cerita si nenek di sergap di hotel ketika berdua dengan lelaki lain yaitu bekas pacarnya. Karena sepertinya ini mengingatkan saya yang telah berbohong pada suami dan anak-anak akan pergi ke Surakarta menengok saudara yang sedang sakit. Padahal aku janjian dengan lelaki yang baru kenal dua kali di kereta exsekutif ketika aku berangkat ke Jakarta melakukan tugas dinas luar.
Tiba-tiba ringtone Hpku berbunyi nada panggil, aku segera mengambilnya dalam tas. Ternyata dari Haryono orang yang sudah empat jam aku tunggui.
“Halo, kamu ada di mana sayang, saya ada di depan statsiun nih?” katanya dengan nada lirih.
“Aku ada di teras statsiun dekat toilet!,” jawabku agak kesal. Tanpa menunggu jawaban aku langsung menutup HPku. Namun tidak sampai satu menit Haryono datang menemui.
“Min, maaf ya saya terlamabat, “ kata Haryono, memanggil nama samaranku dengan nada seperti ingin dikasihani. Belum aku sempat menjawab, tiba-tiba nenek yang ada di pangkuanku terbangun.
“Kamu, Budi kah, nak?” kata nenek yang belum sempat aku tanyakan namanya.
“Siapa ini Min?” tanya Haryono sambil memandang nenek yang masih kelihatan menangis. Aku belum sempat menjawab Haryono berkata lagi.
“Iya, saya Budi Haryono, siapa ibu ini?” kata Haryono sambil menatap nenek. Aku tercengang tapi tidak berkata apapun
“Oh, Budi anakku!” nenek merangkul Haryono, Haryono terdiam seperti patung tak terucap sepatah pun, aku seperti menyaksikan kisah drama pertemuan seorang ibu dengan anaknya yang ditinggalkan lama sekali, yang akhirnya berpelukan .
Aku terbangun, kutinggalkan mereka berdua tanpa basa basi. Aku berjalan ke luar areal stasiun, menyusuri pinggir pertokoan di panasnya sinar mentari. Langkah demi langkah terasa ada penyesalan. Makin jauh dari statsiun makin terasa ada dosa yang menjadi beban dalam diri ini.
Nada panggil HPku berdering beberapa kali, aku malas untuk mengangkatnya. Sepertinya tidak tahu harus berbuat apa. Apa yang harus ku katakan bila pulang menghadapi suami dan anakku yang akan bertanya mengapa aku tidak jadi pergi menengok saudara yang sakit. Aku memasuki café yang terlihat sepi, hanya softdrink yang aku pesan, aku menyendiri merenungi kejadian yang baru saja teralami.
HPku bererdering lagi, kuliahat ternyata dari Haryono, lalu ku on-kan.
“Min, terimakasih yah, ini adalah ibuku. Mungin kamu telah tahu segalanya, ibu telah bicara padaku, ibu telah menceritakan kepadamu, maafkan aku Min, … “ kata Haryono. Tanpa sepatah katapun yang ku ucapkan langsung ku tutup.
Hatiku agak tenang, mungkin itu jalan terbaik yang sudah Tuhan gariskan, aku tidak sampai terjadi dengan Haryono alias Budi Haryono seorang pengusaha sukses yang berawal dari seorang bengkel motor di dekat Statsion Kereta Api Karawang yang kini pindah ke Jakarta punya showroom mobil.
Terimakasih Tuhan, engkau telah mengingatkan aku. Maafkan aku, anakku, suamiku, maafkan aku!.***

Carpon "HUTANG"

Carpon : Sambas Bara

HUTANG

Alloh nu maha adil, welas tur asih ka umatna.
Nya sugan satadina bisa ngarobah adat, kitu soteh mere conto, ari mapatahan mah asa heurin ku letah da ka manehna mah dulur saluhureun. Apan geus jadi babasaan jalma mah sifat robah teu ayeuna sugan isuk, teu isuk sugan pageto, ngan dititenan geus aya belas taunna geuning tetep we jiga bareto.
Belasan taun anu katukang waktu keur maranehna susah keneh, kungsi nginjeum geulang mas anu pamajikan aya kana dua puluh hiji gramna ladang ngajual sawah titinggal ninina anu dijual kumamangna. Cenah keur modal neangan gawe, da can boga pagawean anu matuh harita teh. Dina hiji waktu ditanyakeun ku pamajikan, da geus lila jeung geus kairong aya keur mayarna, bi Sumi meuni loba perhiasan nana, usahana oge katempo maju, tapi malah jadi kagorengan geuning manehna kurang narima kana panagih pamajikan. Mending mun terus mayar maneh na ngambek teh. Da ieu mah malah pikapegeleun hate, mayar na ditungtut aya kana tilu kalina anu loba na dua puluh gram. Ari anu sagramna kapopohokeun nepi ka kiwari. Geus teu di tanyakeun da bisi ngambek deui era paseana jiga jelema teu boga dadasar agama, nya pastina oge kaburu poho. Diri ukur bisa ngupahan pamajikan sing sabar da Allah mah moal pahili.
Inget keneh basa lima taun anu katukang, waktu pamajikan dititah nginjeum duit ka bi Sumi keur mayar kiriditan, da isuk-isuk pamajikan bangun ngangluh.
“Pa kumaha atuh urang, apan can boga duit, kumaha mun jelema anu boga barang ahad isukan kadieu nagih duit na ? “ pamajikan nanya.
“Ih kalem we atuh ma, pasti dina waktuna mah aya ! “
“Kalem-kalem kumaha, kumaha mun dina waktuna duitna can aya atuh era meureun, engke tivi na di bawa deui ! “ pamajikan bangun hariwang.
“Tong hariwang ma, apan pakulian anu bulan ieu teh can dibayar, tapi mun emana hariwang mah pek wae atuh ngeclok heula ka bi Sumi, mayarna mah terehna saminggu kituh lilana sabulan piraku teu mere.” Ceuk kuring negerkeun hate pamajikan.
“Enya atuh pa, mun kitu mah ema rek ka bi Sumi piraku teu mere da nginjeum ge urang mah kakara, apan bareto manehna waktu keur rek usaha kungsi nginjeum emas urang nya Pa ? “ ceuk pamajikan.
“Enya lah, eta mah tong diinget-inget deui, nu penting mah nginjeumna hasil supaya ulah wirang, ngerakeun ku tatangga nganjuk tivi nepi ka di bawa deui! “
Jrut turun kaburuan rek neang lampah, nyusul pagawean anu katunda kamari, mungpung isuk sugan weh anggeus hanca teh nepi ka sore ayeuna mah.
Bada asar kara nepi ka imah, pamajikan katempona kurang berag. Aya nu kurang cocok jeung hate meureun ceuk pikir kuring. Saenggeus rada rineh kuring nanya kapamajikan.
“Ma, kumaha liar teh jadi henteu ? “
“Nya tadi isuk keneh ge mangkat, apa ngaleos ema teus ka bi Sumi,“ ceuk pamajikan ngajawabna bangun seunggah.
“Kumaha hasil ? “
“Ih boro-boro, nu aya mah kalah ka hanjakal,” ngajawabna bangun kesel
“Na kunaon kitu ? “
“Coba we pikir, ari moal mere nginjeumah moal we atuh nya. Omongna teh ieu ge rek nambahan geulangkoroncong can aya duitna, kituna bari nembongkeun geulangna anu dipake dina leungeun. Kamari ge cenah tas meuli tivi anu dua puluh in ( inchi) da anu tiheula mah leutik jeung kurang cekas gambarna asa lalajo koran. Cenah pedah teu berwarna meureun,” ceuk pamajikan sasadu.
“Ah piraku meuni tega kitu? “ rada kesel oge ngadenge kitu mah.
“Enya ema oge heran nya ku tega, padahal mah waktu keur susah manehna ge sok nginjeum ka urang nya. Engke deui mah lamun aya perlu ulah sok di berean wae lah, geuning manehna ka urang kitu, tibang nginjeum oge teu mere komo mun menta meureun ! “ pamajikan bangun kesel pisan.
“Ah ulah kitu urang mah ma, ari aya mah rejekina teu kudu koret da Alloh nu ngatur tangtu moal pahili, urang mah ngan sa ukur cukang lantaran,“ ngupahan pamajikan ulah ambekna nepi kateterusan.
“Keuheul atuh da !“ manehna ngajawab singkat bari ngorejat ka hareup, aya sora awewe nu uluk salam.
“Alaikum sallam, mangga ka lebet ! “ pamajikan ngajawab bari mukakeun panto. Reket panto dibuka.
“Geuning ceu Nani, sareng si akangna henteu ? “ ceuk kuring bari ngasong keun leungeun nampa sasalaman ceu Nani, pamajikan babaturan sapagawean anu ngaran kang Aput.
“Puguh ge henteu, ieu ge rurusuhan rek meuli jajamu keur nyeri awak, akangna bisi ka tutuluyan gering, “ ceu Nani terus diuk gigireun, da geus wanoh asa jeung dulur.
“Lain aya naon nya, meuni rurusan kitu ?,“ ceuk pamajikan rada heran.
“Ih tadi, akangna balik digawe nyaritakeun bapana si Nur butuh duit pisan cenah rek di pake minggu isukan. Kabeneran di euceu aya, tah ieu pake we heula da kituna oge di pakena lila keneh. Keur meuli domba engke bulan haji,“ ceuk ceu Nani bari ngasongkeun duit dua ratus rebu.
“Nuhun atuh ceu ari aya mah. Tuh ma geuning rejeki mah timana we, geuning aya keneh nu percaya ka urang nya ! “ ceuk kuring bari ngareret ka pamajikan.
“Nya, nuhun ceu Nani tadina mah meuni hariwang pisan bisi kaburu aya anu nagih “ ceuk pamajikan bangun atoh pisan.
“Nya sawangsulna, da euceu oge sok barang injeum. Hayu atuh ah moal lila bisi toko jajamu kaburu tutup,“ ceu Nani cengkat hudang bari ngajak sasalaman.
Enya geuning Alloh mah kacida adilna welas tur asih ka umatna.
Allah nu maha adil, welas tur asih ka umatna.
“Pa urang ulin ah ka bi Sumi, sugan we mayar hutang anu saratus rebu tea lumayan keur bayaran budak sakola. Piraku pohoeun, najan geus sataun da barang na aya keneh bari jeung ruksak oge da barang dipake ! “ pamajikan ngajak ulin bari nyinggung bi Sumi anu boga hutang parabot sesa saratus rebu geus aya kana satauna.
“Nya hayu atuh, tapi sok asa era ari ulin ka manehna teh !”
“Era kunaon kitu pa ?“
“Eta bisi pajarkeun nagih, padahal mah enya, ngan maneh na teu ngarti “ ceuk kuring bari seuri, pamajikan ngan ukur mesem. Da geus ngarti meureun kana sifat bibina anu sok joledar kana hutang. Geus aya sababaraha kali nginjeum da can pernah eucreug mayarna, saklieun lunas ge meuni lila pisan. Tapi asa teu tega ari aya anu rek barang injeum di urangna aya mah sok hayang mere wae bari jeung diri sorangan oge tulunganeun batur. Komo ieu sasat ka dulur.
Sakabeh puji kagungan Allah, bareto mun ulin kudu naek mobil atawa ojeg. Tapi ayeuna mah lumayan boga kandaraan motor bari jeung meunang ngiridit oge. Anu biasana mah mun ulin ka bi Sumi aya kana sajam na di perjalanan tapi ayeuna mah ukur satengah jam ge geus nepi. Nepi ka imah bi Sumi, katempo bi Sumi rada alum teu jiga biasa na. Da sabenerna manehna mah ulah-ulah ka dulur ka batur oge kasebut darehdeh, komo mun urusan piduiteun mah.
“Bi kamana mang Juma, geuning asa tariiseun nya ? “ceuk pamajikan bari ngajak sasalaman. Da katempo euweuh sasaha salian bi Sumi.
“Puguh euweuh, keur ka Jakarta. “ Bi Sumi nagjawab saperluna.
“Ari budak kamarana ? “ kuring nyambungan pananya pamajikan.
“Maen pe’es meureun, didinya tah beulah kulon ! “ bari nunjuk ka imah tatangga nu ka halangan opat imah.
“Mang Juma naek motor bi ka Jakarta na ? “ Ceuk kuring, da teu ka tempo aya motor dina garasi hareup. Manehna ge boga motor anyar anu meunang ngagade ti adina anu kakara dua bulan. Kitu ge ceuk pamajikan waktu ulin ka bi Sumi bulan kamari. Malah motorna oge sarua cenah jeung motor urang merek jeung warnana teh, ngan leuwih anyar wungkul kaluaran nana.
“Henteu. Mawa mobil anu Pa Guru, eta arek neang anu balik ti Arab. Geus nungguan di bandara mun teu salah mah. “ Ngajawabna teu pati berag, najan rada panjang oge.
“Ari motorna kamana, diojegkeun kitu ? “ pamajikan ngilu nanyakeun motor.
“Ih puguh ge, ieu teh keur kesel banget. Tah eta ka si Degul, apan motor anu digadekeun ka urang teh motor kiriditan, ku naon atuh teu di angsur unggal bulan. Ieu mah kalah ka hayu ngagugulu wae napsu, duit pake nyaweran artis di Pantura nya moal aya tungtungna. Malah pamajikan nana mah kamari ka dieu, si Degul tara balik cenah geus tilu minggu. Biasana unggal minggu ge balik. Disusulan ka tempat digawena euweuh cenah geus balik. Disusul ka dieu sugan aya meureun, puguh kadieu tah ti saprak ngagadekeun motor ge can kadie-dieu deui. Tah tadi isuk ka dieu, ari sugan tea arek nebusan motor da jeung nu boga deler motor sagala. Sihoreng teh arek nyabut motor, da geus tilu bulan can disetoran. “ Bi Sumi bangun anu kesel pisan ka adina anu ditelah si Degul.
“Dibikeun ku bi Sumi ? “
“Nya teu diberekeun kumaha da si Degulna geus nandatangan pernyataan teu sanggup keur nyetoran. Kacuali lamun cicilan anu tilu bulanna dibayar jeung dendaan nana. Lamun teu dibikeun mah urusan nana jeung nu wajib cenah. “ Bi Sumi ngadahar buah simalakama anu pait jeung peuheur rasana dihulu angen.
“Ari eta duit gadean nana anu tilu juta kumaha ? “ pamajikan ngahookeun ka bi Sumi.
“Nya si Degul mah sanggupeun ngaganti jadi hutang, ngan teuing iraha-iraha na mah da teu ka tempo keur piduiteun nana,“ jiga anu putus asa pisan.
Alloh nu maha adil, welas tur asih ka umatna.
Moal jalir kana jangji, moal subaya tina sagala dawuhna.Cag.***

PAK TUA UMAR BAKRI

Cerpen

PAK TUA UMAR BAKRI


Pak Tua Umar Bakri dengan tas kulitnya yang kian lusuh, sepeda kumbangnya yang telah lapuk dan tidak bisa dipakai kini jadi penghuni gudang belakang yang tak pernah ada isinya. Pak Tua tak lagi mengayuh sepeda tapi tiap hari Dia naik mobil angkutan untuk pergi mengajar di sekolah dan pulangnya kadang-kadang naik motor diantar temannya yang satu propesi itu. Pak Tua harusnya telah berhenti mengajar setelah usia pensiun itu, tapi karena ada sekolah yang sangat kurang tenaga pengajarnya di tepat temanya mengajar, Pak Tua terpanggil untuk diperbantukan mengajar di sana sebagai tenaga honorer. Lumayan untuk menambah penghasilan katanya karena dia masih punya anak sekolah yang masih kecil, dan uang pensiunya tak mencukupi untuk biaya hidup walaupun hanya untuk menyekolahkan anaknya yang masih di Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama. Maklum Pak Tua kawinnya terlambat jadi di usianya yang telah senja ia masih punya anak yang masih kecil yaitu si Iwan, sedangkan dua kakaknya Iwan yaitu Nani dan Nina tidak ada yang sekolah tinggi, setelah lulus SD tidak melanjutkan lagi dan beberapa tahun kemudian beruntun menikah tiap tahun karena usianya hanya selisih tiga tahun. Serta kini telah sama-sama punya satu anak yang statusnya cucu Pak Tua atau keponakan Iwan.
Pak Tua membuka tasnya, kebiasaan merokok telah ia tinggalkan setelah ia sadar bahwa merokok itu pemborosan. Mencarinya setengah mati sudah ada malah di bakar. Buku catatan ia buka untuk melihat pelajaran yang akan diajarkan besok pagi. Setelah ia mempersiapkanya untuk esok hari, ia meneruskan pekerjaan dengan mengetik karya tulisnya untuk dikirimkan ke surat kabar daerah. Lumayan katanya untuk membeli kopi yang menjadi teman setianya ketika ia menulis sebuah cerita dengan mesin ketiknya yang lapuk hingga larut malam.
Malam itu Pak Tua merenungkan nasibnya yang telah sekian puluh tahun mengabdi pada bangsa, ribuan orang telah belajar padanya, banyak sudah yang jadi sarjana, banyak sudah yang jadi pegawai, dan banyak pula pejabat yang tadinya murid Pak Tua, tapi ternyata belum begitu peduli pada propesinya itu.
“ Andai saja aku bisa hidup lama lagi, suatu saat harapan ini bisa tercapai, Aku berharap teman-teman guru di masa yang akan datang tidak lah seperti sekarang, Aku hanya dengan seorang anak saja sudah begitu kewalahan untuk biaya sekolah ini.” Celoteh Pak Tua sambil membetulkan posisi kertas ketikannya.
“ Padahal aku seorang guru, masa uang bulanan sekolah saja harus nunggak beberapa bulan. Belum lagi buku pelajaran yang harus dibeli dengan LKS-nya.” Gumamnya lagi sambil menarik napas panjang.
“ Dari dulu aku berpikir kalangan pendidik khususnya guru itu punya organisasi yang besar masanya, tiap peloksok ada, bahkan banyaknya melebihi Pegawai Negeri yang lain, tapi sungguh mengenaskan, karena kurang solidaritas yang terjadi sampai saat ini. Coba bayangkan lagi aku berpuluh tahun menjadi anggota Persatuan Guru di Republik ini dengan sebutan yang populaer PGRI, khususnya di tempat aku mengajar ini, ternyata kurang dukungan dari pihak tenaga pengajar atau dari kalangan guru yang mengajar di sekolah yang lebih tinggi. Sepertinya PGRI hanyalah organisasi guru SD yang kesejahteraannya masih minim, apa karena mungkin mereka sudah tidak butuh organisasi semacam ini lagi karena telah punya penghidupan yang lebih layak dari teman satu propesinya sebagai tenaga pengajar.” Pak Tua sepertinya bertanya pada pada dirinya sendiri dengan penuh penyesalan sambil meniupi kopinya yang masih panas lalu meminumnya sedikit demi sedikit.
“ Padahal untuk mencerdaskan bangsa ini aku telah berbagai macam cara agar anak-anak tidak putus sekolah dan bisa melanjutkannya ke jenjang yang lebih tinggi. Memacunya dengan berbagai kegiatan semua yang aku bisa, mungkin semua telah aku ajarkan.” Pak Tua menggumamnya dengan penuh kebanggaan.
“ Kalau saja ada dukungan atau solidaritas dari teman yang lainnya, aku mungkin tidak akan seperti ini paling tidak bisa mengurangi beban yang aku pikul saat ini. Mungkin Iwan bisa sekolah di SLTP dengan tenang karena tidak tiap bulan di panggil ke ruang TU untuk menyelesaikian bayarannya yang selalu terlambat. Walaupun tidak gratis tapi mungkin ada dispensasi pengurangan bayaran sekolah karena mempunyai seorang bapak yang menjadi guru walaupun di Sekolah Dasar. Misalnya contohlah seperti Masinis kereta api, aku punya teman yang anaknya masih kuliah di Jakarta. Tiap hari dia menggunakan jasa Kereta api karena Bapaknya membekali dengan sebuah kartu Anggota keluarga Besar Pegawai Kereta Api. Jadi kemanapun anaknya pergi menggunakan kereta api tidak usah repot untuk membayarnya. Disanalah terlihat kepeduliannya tehadap sesama satu propesi untuk saling membantu dan melindungi. Akan kah kita sebagai pegawai tenaga pendidik yang mengajarkan etika, sosial, budaya, kebersamaan, persatuan, ternyata masih tertinggal dalam sosialisasinya. Mereka yang ada di luar sana ternyata sangat peduli dengan propesi sesamanya seperti sopir, kondektur, dan masinis kereta.” Pak Tua mengerutkan keningnya kembali mengingat-ingat yang telah dialaminya.
“ Seperti yang terjadi tadi pagi ketika naik angkutan kota kebetulan duduk di depan dengan seorang anak sekolah SMA, Aku menanyakan pada sopir kenapa anak sekolah itu tidak bayar ongkos ketika turun dari mobil apakah mungkin anaknya atau saudaranya, ternyata ia adalah anak sopir angkutan kota juga yang sering naik mobilnya. “ Ya begitulah Pak kalau hidup di jalan seperti itu, masih banyak rejeki dari yang lain, karena tidak tega menerima ongkos dari anak seorang sopir seperti saya. Jaman sekarang tahu sendiri, penghasilan sopir angkutan kota ini tak seberapa, masih untung teman saya itu bisa menyekolahkan anaknya ke SMA, bayarannya kan mahal masuknya saja tidak cukup uang sedikit padahal di sekolah negeri. Tidak seperi saya dulu sekolah negeri menjadi pilihan karena murah. Karena saya juga dulu pernah sekolah di SPG.” Kata sopir agak malu-malu. “ Kenapa tidak jadi guru saja kan sering ada pendaptaran guru ? “ aku bertanya untuk minta penjelasannya. “ Saya Pak, sudah lakukan itu semua, pernah juga saya ngajar di SD jadi sukwan untuk menunggu pengangkatan tetapi setelah testing ada empat kalinya saya tidak lulus, dan putuslah harapan saya karena usiapun saya sekarang hampir empat puluh mungkin untuk pendaptaran yang akan datang tidak akan di terima karena sudah tidak memenuhi persyaratan untuk menjadi calon pegawai negeri.” Jawabnya penuh penyesalan. Aku tidak bisa berkomentar banyak karena yang di alami sekarang ini tak lebih baik dari penghidupan seorang sopir angkutan kota. Mungkin banyak lagi yang peduli seperti itu karena aku tidak terlalu bayak tahu tentang masalah di luar sana mungkin kesibukanku terlalu padat untuk menghidupi keluargaku ini. “ Pak Tua menyelesaikan pekerjaannya dengan tekanan titik yang sangat keras, sepertinya kelelahan memikirkan semua itu. Malam makin larut, Pak Tua telah menghabiskan kopinya dalam gelas besar itu. Pengalamannya tadi pagi telah tertuang dalam kertas HVS dengan mesin ketik tua nya itu untuk diserahkan pada redaktur esok siang setelah ia pulang dari mengajar. Pak Tua merebahkan badan di samping istrinya yang telah lelap tidur dengan seberkas harapan, paling tidak ia tidak usah menunggu uang pensiunan bulan depan untuk mencicil Dana Sumbangan Pembangunan sekolahnya Iwan. Mungkinkah Pak Tua usianya sampai esok pagi, ataukah pengalaman tadi pagi dan harapannya hanyalah sebuah cerita terakhirnya, yang tertinggal dalam tas kulit Pak Tua Umar Bakri.***

Sabtu, 23 Mei 2009

Carpon Sajak Pamayang

Carpon : Sambas Bara

SAJAK PAMAYANG


Layar jeung parahuna,

Parahu jeung muarana,

Muara jeung pamayangna,

Pamayang jeung jaringna.

Jaring jeung laukna.

Sarja hanjat tina parahu bari ngajingjing lauk pisang-pisang meunang misahkeun keur bawaeun balik ka imah. Rada rumahuh nempo hasil ngajaring anu teu muncekil. Rupa-rupa lauk anu tilu loa geus digotong ku baturna tiheula dibawa ka palelangan. Anu terus digunduk-gunduk dina rohangan lelang bari dipilihan sarupa-sarupana sangkan katempo pantes jeung pikaresepeun anu naksir lelang.

Sarja teu nungkulan dilelangna lauk meunang mayang, terus wae nongtoyod ka imah bangun anu lungse. Saenggeus nepi ka imah guprak lauk gejretkeun ka sisi bilik deukeut lawang panto. Goledag ngedeng bari nangkarak bengkang kana bale awi anu watonna semu herang balas kadiukan. Teu lila hudang deui bari nguliatkeun awakna.

“Nyi, pang mawakeun cai herang kadieu, !” sora Sarja rada bedas sangkan kadenge katukangeun imahna, da apal mun wayah kitu pamajikanna biasana aya di tukang keur moekeun lauk asin.

“Eh akang, geus balik geuning. Ke atuh nya kang,“ Pamajikanna ngajawab bari tuturubun ka hareup mawa teko palastik jeung gelasna.

“Kumaha kang, ayaan laukna ?,“ Pamajikanna nanya. Sarja teu gancang ngajawab angur nyicikeun cai tina teko, teus diinum regot-regot we aya kan dua gelasna. Geus aya kana tilu kalina narik napas kakara nyarita, kitu oge bangun anu seunggah.

“Ah, angger we jiga kamari, ngan ukur meunang tilu loa kitu oge laukna campur aduk. Cukup keur naon boro-boro kabagian paparoanna keur meuli solar oge can tangtu mahi.”

“Enya nya, kumaha atuh da urang mah henteu melak lauk kang, Alloh ngersakeun nana sa kitu meureun tarima we, sugan isuk pagetomah bulan keur alus muncekil hasilna.“

“Enya Sugan,“ Sarja ngajawabna pondok. Bari reup meureumken panon ngagoler deui dina bale, siga anu embung kapapanjangan ngobrol jeng pamajikanna anu kacida sabarna. Najan usaha henteu beubeunangan anger pamajikan na nyambut salaki kalayan someah, pantes kitu tea na mah da pamajikan Sarja teh anak pa lebe. Anu alus didikan saeutik lobana ngarti kana dadasar agama, ngan nasib anu can marengkeun kana kasenangan dunya.

Pamajikan Sarja anu katelah Nyi Umi, da Umar anakna sok nyebut teh umi wae. Hirup rumah tangga geus aya kana sawelas taunna. Can katempo aya hasilna mun ngitung untung rugi mah, imah oge ukur ku bilik. Boro-boro boga parabot eusi imah kayaning meja korsi atawa lomari pajangan, tempat sare oge ukur tina dipan. Sakalieun mun hayang lalajo tivi oge sok ngadon ka Haji Suif, ari radio mah butut-butut ge boga tamba sare sore-sore keur ngadengekeun lagu atawa dongeng. Lain teu hayanga jiga batur sagala aya, imah alus eusina lengkep pretek ku parabot jiga Ceu Ucu tatanggana anu keur meujeuhna maju usahana. Anu ayeuna aya di sisi jalan tanggul anu rame muka usaha dagang inum-inuman anu dipikaresep kubudak ngora pikeun marabok. Malah cenah nyadiakeun sagala awewe balangor anu sok daek ngajual diri sarua jeung harga bebek. Da teu kungsi dua taun Ceu Ucu usahana kacida ngaronjatna malah anu geus jadi langganan tinu jarauh anu sok sering datang ka dinya sok nyebut teh mamih wae ka Ceu Ucu teh. Ari salakina anu tadina sarua pamayang jiga Sarja kiwari gawena ngan ukur sila bari nyekel kartu remi atawa gapleh.

Tapi geuning eta kahirupan Ceu Ucu teh keur Nyi Umi mah teu jadi pangharepan najan katempo nyenangkeun oge. Pamikirna eta jalan anu di sorang Ceu Ucu teh jalan salah. Ngan hiji anu dipikareueus jeung jadi harepan Nyi Umi iwal ti Umar, anak anu samata wayang anu boga cita-cita hayang jadi Guru. Umar getol pisan sakolana, malah ngaji unggal sore bada magrib tara kaliwat lian ti waktuna poe pere. Balik ngaji terus ngapalkeun pelajaran sakola, pantes pisan mun Umar unggal taun meunang rengking anu pang alusna. Ayeuna Umar geus kelas opat unggal naek kelas rengking hiji wae.

Panon poe geus codong ngulon, Sarja can hudang wae sarena. Nyi Umi can wani ngahudangkeun bisa salakina tunduheun keneh da sakeudeung deui bada asar kudu geus nyiapkeun sagalana pikeun bekel indit deui ka laut.

“Assalamu alaikum,” Umar uluksalam kakara jol ti sakola.

“Alaikum salam,“ Nyi Umi ngajawab kalayan daria, ngabageakeun anakna anu balik ti sakola madrosah.

“Umi, kumaha geus dibejakeun ka Abah ?.“

“Acan, da Abahna oge sare keneh !.”

“Kumaha atuh mi, apan isukan teh kudu geus lunas mayar tehabe teh, batur mah tadi oge geus dibagikeun kartuna da geus malayar.“

“Enya, enya engke dibejakeun.“

“Ceuk pa guru oge lamun can mayar mah moal di bere ngilu ulangan,“ Umar nyambungan deui omongan nana, jiga asa hayang ngajentrekeun ka indungna sangkan bayaran sakolana gancang dilunasan.

Ngadenge anu guntreng gigireun nana Sarja ngulisik beunta, gancang hudang bari nguliatkeun awakna. Beretek-beretek babatek bangun anu pararegel.

“Nyi asar encan ieu teh ? “ Sarja nanya

“Engeus kang, da si ujang ge geus balik sakola.“

“Tadi teh dedengean akang, si ujang nanyakeun bayaran-bayaran kitu, loba keneh kitu bayareunna sakola teh.”

“Puguh ge kang, bulanan nana tilu bulan deui ditambah mayar tehabe tujuh rebu jadi kabeh teh dua puluh dua rebueun. Engke isuk kudu geus dibayar cenah.“

“Lain ngomong tikamari atuh, meureun akang bisa nginjeum heula ka dunungan,“ ceuk Sarja.

“Satadina mah sugan teh akang rek beubeunangan lauk loba, can wani bebeja teh. Tapi geus aya kana samingguna sarua wae. Nginjeuman wae duit kadunungan geus era kang, anu bulan itu oge urut meuli kaos saragam sakola can lunas.“

“Nya kumaha deui atuh Nyi, mun urang teu unjam-injeum heula boga duit timana, da usaha akang ngan ukur jadi pamayang. Digawe di pabrik teu boga ijasah sakola luhur, najan tanaga gede oge. Ari arek ganti pacabakan jiga salakina Ceu Ucu ulah, da cenah haram.” Sarja bangun seunggah. Umar ukur bisa merhatikeun caritaan indung bapana anu pada-pada bingung.

“Ayeuna engke sore atuh memeh mayang ka dunungan heula nginjeum deui duit, karunya ka si ujang bisi eraeun ditagih wae ku guruna.“

“Enya lah, sugan we aya,” ceuk Sarja bari ngaleos ka sumur gigireun imah. Ari Umar angger diuk gigireun indungna.

“Tah geuning mudah-mudahan we aya nya,“ Nyi Umi ngabeberah hate Umar sangkan teu hariwang teuing.

“Ulah bohong Mi, era ah ku babaturan. “ Umar negeskeun

“Insa Alloh moal, ayeuna mah jig kaditu geura mandi geus sore.“ Nyi Umi ngajangjian anakna anu pinuh ku harepan. Teu leleda Umar gancang indit kajero imah nyimpen buku sakola madrosah, teu lila terus kaluar deui bari mawa anduk mandi nyampeurkeun bapana anu geus aya di sumur keur beberesih.

Panon poe surup mapag datangna peuting. Beulah kaler geus raang baranang lampu-lampu pamayang anu rek indit ka laut. Sora Adzan magrib ngabuyarkeun barudak anu keur arulin diburuan masjid. Pahibut buru-buru ngala wudu bisi katinggaleun solat magrib berjamaah.

Peuting jadi saksi. Tengah peuting dina wanci talibrana umat manusa, Nyi Umi kagareuwahkeun ku sora anu ngaromong rada tarik sisi jalan bari leumpang hareupeun imahna. Nyi Umi hudang panasaran hayang nempo naon anu kajadian saenyana, saenggeus ngintip tina sela-sela bilik yen anu aya diluar teh geuning tatanggana terus we muka panto.

“Mang Eno aya naon ieu teh meuni raribut teuing ?” Nyi Umi nanya Mang Eno, tatanggana anu keur ngobrol jeung baturna anu kabagean ngaronda. Mang Eno ngarandeg lempangna ngalieuk ka Nyi Umi anu nangtung dilawang panto.

“Itu Ceu Ucu warungna di gerebeg ku Pulisi “ Ceuk mang Eno

“Digerebeg, ari Ceu Ucu na kamana Mang ? “

“Puguh oge diborgol bareng jeung salakina dibawa ka Polres,“ Mang Eno ngajentrekeun kanyahona basa nyaksian di warungna Ceu Ucu.

“Duh karunya teuing nya !“ Ceuk Nyi Umi anu di tinggalkeun ngaleos ku Mang Eno anu rek neruskeun ngaronda.

Nyi Umi diuk dina bale anu tadi beurang dipake salakinan sare. Nyi Umi neuteup ka harep nembus ngaliwat imah-imah tatanggana. Miheulaan lengkah leumpangna Mang Eno anu kakalerkeun. Ngaliwatan parahu-parahu ngajajar di muara anu teu dipake ku pamayang. Jauh tina basisir, ngabayangkeun salakina Sarja anu keur ngajaring lauk, ampul-ampulan di tengah lautan. Kahujanan kaanginan ngamudikeun parahu anu narik jaring dina poekna peuting.***

Carpon Dazal

Carpon Sambas Bara

DAZAL

Balik ngaji Udin tuturubun nyampeurkeun Ki Amad anu keur sila mendeko na bale di balandongan bari ngobrol jeung mang Juha nungguan berita anu rame dina televisi.

“Assalamu alaikum“ Ceuk Udin

“Alaikum salam,“ Jawaban Ki Amad jeung mang Juha meuni bareng. Gek Udin diuk saengeusna cium tangan ka Ki Amad jeung ka mang Juha.

“Lain kaditu geura ngapalkeun cu, kalah ka cicing di luar !“ Ceuk Ki Amad.

“Ih puguh ki, Udin teh panasaran tadi keur ngaji Pa Ustad nyaritakeun Dazal.“ Ceuk Udin

“Naha kunaon kitu ?”Ki Amad nanya .

“Enya tadi teh panasaran, basa rek nayakeun kaburu di budalkeun sugan aki terang bangsa naon ari Dazal teh, ki ?“ Udin kacida panasaraneun nana.

“Ari ceuk Pa Ustad kos kumaha kitu ari Dazal teh cu ?“ Ki Amad malik nanya.

“Ari ceuk Pa Ustad mah Dazal teh tangtungan nana mun meuntas lautan ukur sa tuur, panona picek ngan nempo sabeulah, ari datang na ti beulah kaler,…“ Udin nagrandeg bangun nginget-nginget deui caritaan Ustad waktu keur ngaji.

“Terus naon deui cu ?“ Ki Amad nanya deui bari mesem.

“Ke, ke kieu mun teu salah mah, dina leungeunna nyekel ragaji, pagawean nana manehna neangan jelema anu Iman ka Allah, supaya tundauk atawa nurut ka manehna. Lamun nurut cenah bakal senang, tapi mun teu nurut baris diragaji eta beuheung jelema teh. Tah kitu ki lamun teu salah mah, jeung moal aya jelema anu te ka panggih najan nyumputna di liang cocopet oge pasti ka peregok cenah. Naha bener kitu ki ? “ Udin nerangkeun sakanyahona anu diterangkeun ku Ustad di pangajian, ditungtungan ku nanya bangun sieun jeung panasaran.

Ngadenge caritaan Udin kitu mang Juha oge asa ka elingan, da manehna oge perenah ngadenge waktu keur ngaji bareto bari jeung teu tamat tuturutan-tuturutan acan oge.

“Enya ki, coba terang keun tah, uing oge hayang nyaho nu jentrena !“ Mang Juha kabawakeun ku Udin, budak satepak incuna Ki Amad nu geus hayang nyaho sagala rupa. Da eta Udin mah katelahna oge budak calakan teu kaop dimimitian sok hayang nyaho jentrena wae.

“Pek regepkeun, carita kitu teh bener cu kitu deui Juha, eta teh aya dina katerangan. Keur jaman aki budak oge sarua caritana kitu anu di sebut Dazal teh. Ngan ieu teh sabenerna cek pamanggih aki ukur siloka, da katerangan teh diluyukeun jeng uteuk atawa pamikir jelema.“ Ki Amad eureun heula nyaritana bari mareuman roko anu tinggal puntungna.

“Dazal teh kaluarna dimana dunya geus rek kiamat gede nyaeta ancurna sakuliah jagat jeng eusina, anu di mimitian ku medalna matapoe ti beulah kulon jeung surupna ganti kabeulah wetan.“ Ki Amad ngarandeg heula nyaritana. Udin jeung mang Juha bangun panasaran ngadenge katerangan Ki Amad kitu teh.

“Tah mun malikan deui carita aki tiheula anu tadi, nyaeta Dazal teh mangrupa siloka ku aki rek diterangkeun sapamanggih aki, nu diluyukeun jeung jaman kiwari kieu gera. Dazal datang na ti beulah kaler mun meuntas lautan ukur sa tuur, tah eta teh silokana kieu sarua jeung teng waja anu bisa ngambang tea anu numpakna nyaeta datangna ti beulah kaler sanajan asalna manehna urang kulon, tegesna mah bangsa Amrika. Ari matana ukur sabeulah atawa hiji hartina sarua jeung mata kamera foto atawa kamera vidio bisa oge toropong anu aya dina pohpor bedil. Manehna geus teu bisa nempo bener jeung salah nu aya dina panempona ukur bebener ceuk manehna anu pentingmah hasil maksud, kalakuan nana kumaha dewek. Asa maneh pang kawasa na, dunya ge hayang diatur ku manehna. Der nagara deungeun anu loba jelema Iman ka Alloh di serang anu teu puguh salahna, jalma sadunya ukur bisa lalajo teu aya anu bisa nyegah. Ari leungeuna nyekel ragaji hartina senjata ampuh pikasieuneun batur atawa boga kakuasaan pikeun magaruhan, manehna bisa ngahukuman jelema nu can dibawa ka meja hejo.“ Ki Amad ngarenghap bangun eungap.

“Ari eta ki, anu diteangan teh jelema anu Iman ka Alloh jeung dimana wae ayana bakal kapanggih kumaha apan jelema di ieu dunya teh loba pisan ?“ mang Juha miheulaan nanya bangun panasaran.

“Bener, da bejana mah jelema anu Iman di nagara urang oge leuwih ti saratus juta jiwa. Coba ku ujang titenan, Juha nyaho nu ngaran joj bus ( maksudna George Wolker Bush) ?“ Ki Amad malik nanya.

“Ih puguh we atuh ki, apan manehna anu sok ngajak nyerang ka bangsa Irak tea.“ mang Juha ngajawab asa pang nyahona.

“Timana Juha nempo eta jelema ?“ Ki Amad nanya deui.

“Di tivi, ki“ mang Juha ngajawab singkat.

“Tah eta bener, anu dikota bisa nempo anu di desa bisa lalajo, digunung kasusul di desa kasaba lembur anu singkur oge papanggih. Maksudna manehna mangaruhan jalma anu Iman da ari anu teu Iman mah baturna. Jadi dimana wae ayana pasti kapanggih?” Cek Ki Amad

“Atuh ari kitu mah tivi ge sarua jeung Dazal ki ?“ Udin nanyakeun.

“Ih lain, ari nu kitu mah pakakasna atawa alatna keur heurapna, atawa sentregna sangkan jelema raresepeun, da mun geus resep teu kudu diajak oge pasti ngilu. Urang oge mun lalajo tivi sol poho kana waktu, dina waktu solat mindeng kaliwat, komo mun aya film anu rame atawa aya maen bal najan nepi ka janari teu weleh dikemitan. Anu antukna hudang kabeurangan, atuh boro-boro solat subuh.“ Ki Amad neuteup ka Udin jeung mang Juha anu bangun bingung.

“Ke, ke ari eta ki matapoe medalna ti kulaon iraha jeng surupna ka wetan ?“ Udin nanya bangun anu can yakin kana pamadegan Aki Amad.

“Ih apan ceuk aki oge eta mah siloka, eta teh hartina jaman ayeuna ges ti balik. Anu bener di jieun salah, anu salah di jieun bener. Tuh tempo na tivi awewe jiga lalaki marake calana tinu panjang nepi kanu pondok bu’uk pondok alabatan bu’uk lalaki, lalaki make giwang make kongkorong bu’uk panjang di rumbaykeun naha teu ti balik ari kitu ?“ Ki Amad negeskeun.

“Enya bener ki !” Juha bangun anu era da bu’uk na panjang ngaliwatan taktak.

“Atuh kiamat teh geus deukeut nya ki ?“ Udin ngarti kana sagala anu di terangkeun ku Ki Amad.

“Puguh we atuh cu, najan urang teu ngalaman tuh di nagri batur aya lini, aya caah anu salaput suhunan, leuweung kahuruan, aya anu perang eta kabehna ngabalukarkeun korban, jadi ciciren kiamat bari jeung ukur kiamat leutik oge.“ Ki Amad neruskeun caritana.

“Mun Udin boga pamanggih kieu bener teu ki ?“ Udin nanya deui.

“Kumaha kitu cu ? “ Ki Amad bangun reueus boga incu calakan.

“Ayeuna Dazal geus datang ciri-ciri kiamat geus ka tempo,“ ceuk Udin meuni lantang.

“Mana Dazal na, naon ciri-cirina ?“ Mang Juha nempas ku pananya.

“Apan joj bus tea, anu sangeunahna di ieu dunya teu aya anu bisa nyegah, da kamari oge Udin lalajo berita di tivi manehna nitah nyerang deui nagara Irak.“ Udin ngajawab pananya mang Juha.

“Tah eta, salah sahijina conto Dazal nu medal jaman kiwari.“ Ki Amad negesken.

Obrolan Dazal kapegat ku acara berita diana televisi, kota Falujjah Irak di serang deui ku tentara asing anu dikokojoan ku Amerika make senjata otomatis. Korban perang jemprah jiga binatang anu di poro ku paninggaran.

“Idazal laknatulloh.” Ceuk Ki Amad.

Gerehtes Hate

PEUTING NU URANG DI PANGUMBARAAN

Peting ieu bulan masih ngagembray najan tanggal geus likuran.

Tuh tingali ka beh kidul,

Parentul gunung batu nu maturan.

Angin peuting jadi saksi

Ngahiliwir mapaykeun sora katineung

Hawar-hawar aya sora nu nembuskeun gerentesna hate,

Gelik suling awi tamiang,

Nu malipir, mapay bayah hu pinuh ku katresna

Peting ieu bulan masih ngagembray najan tanggal geus likuran.

Nempokeun urang nu aya di pangumbaraan

Di dieu urang patepang, didieu urang nyieun caita endah.

Aya tali asih nyanggreud dina ati,

Simpay welas nyampay dina bayah nu lawas udar subaya.

Peting ieu bulan mapay panjangna peuting

Nutur-nutur waktu cunduk nepi ka subuh

Neang datangna beurang nu bakal jadi pamisah urang.

Peting ieu nu urang di pangumbaraan

Isuk bray beurang urang bakal paanggang

Kadeudeuh kamelang ukur tinggal hariwang

Nyai geulis,

Hayu urang mapag alam impian.

Angin peuting jig anjeun gera mulang

Susul tuh ibun janari, peuting ieu di pangumbaraan

Isuk urang patepang dina paturay tineung

Suling jajapkeun kuring ku hariring anjeun nu ngagelik ditungtung peuting.

Tepikeun jerit kuring ti pangumbaraan

SAMBAS BARA, Karawang 2003

Cerpen "Ngamen"

NGAMEN

Cerpen :Sambas Bara

Ketika bus yang kunaiki di halte, kursi penumpang belum separuhnya terisi. Aku menempati kursi depan sebelah kiri yang masih kosong, biasanya dipakai duduk dua orang. Bus tidak melaju cepat, konektur berteriak di pintu depan menawarkan pada setiap orang yang berdiri di pinggir jalan. Di halte selajutnya mobil berhenti, konetur turun untuk menanyai calon penumpang.

“Kemana bu?, Rambutan, UKI, duduk, duduk, ayo masih kosong!,”

“UKI yah, kosong ngak? “ kata seorang ibu setengah baya yang menuntun anaknya sambil berjalan menuju pintu depan.

“Ayo bu masih kosong,” jawab konektur, sambil melambaikan tangan kanannya dan tangan kirinya menunjuk ke pintu depan. Di pintu sudah berdiri seorang laki-laki muda seperti bukan penumpang yang tadi masuk ketika konektur keluar. Lalu memegang tangan anak ibu yang baru naik itu dan menuntunnya ke kursi kosong di belakang, ibu tadi mengikutinya lalu duduk dengan anaknya persis dibelakangku dan laki-laki itu kembali ke depan dan tetap berdiri. Kemudian masuk lagi dua wanita muda membawa dua kardus bekas mie intan yang di ikat dengan tali plastik, laki-laki tadi menolongnya dengan mengangkat kardus dan menyimpannya di depan.

“Terus saja teh, itu masih kosong,” katanya sambil menujuk ke belakang.

Bus melanjutkan perjalanan menyusuri jalan kota yang macet oleh angkutan kota, becak, dan sepeda motor. Angkutan kota yang selalu menghalangi jalan karena tidak mau ke pinggir ketika menaikan atau menurunkan penumpang, juga tukang becak yang tak mau mengalah selau mengayuhnya ditengah jalan, tak menghiraukan ketika ada kendaraan yang lebih cepat di belakangnya. Pengguna sepeda motor yang selau mengambil arah kanan selap-selip di jalan yang sempit. Sepertinya pengguna jalan hanya sebagian kecil yang tahu dan sadar untuk mematuhi peraturan lalu-lintas sehingga mau antri dan tertib.

“Aqua, aqua…”

“Koran, koran,…”

“Ayo seribuan, silet, peniti, katenbat,…ayo seribu, semua serba seribu!,” teriakan para pedagang asong silih berganti sambil jalan dari depan ke bekang menghampiri setiap penumpang. Ketika tidak ada yang membeli mereka langsung turun keluar untuk menaiki kendaraan selajutnya yang ada di belakang.

“Asalamu alaikum, selamat pagi, salam sejahtera, bapak-bapak, ibu-ibu, tante dan tetehnya, maaf saya menggangu perjanan para penumpang bus jurusan UKI, Rambutan ini, “ kata laki-laki yang sejak tadi berdiri di depan yang selalu membantu penumpang naik.

“Setelah tadi teman-teman saya naik silih berganti menawarkan dagangannya, sekarang giliran saya dan teman-teman pengamen jalanan untuk mengiringi perjalanan anda semua, “ katanya, lalu di ikuti musik di tengah bus suara okolele dan gitar yang mungkin sudah dipersiapkan dari tadi, karena aku tak sempat memperhatikan yang ada di belakang.

Aalunan musik jalanan para pengamen tampaknya tidak terlau menghibur perjalanan, walau lagu-lagunya bertema kritik sosial dan politik karena terasa sudah basi apalagi di jaman repormasi yang tak terarah ini. Sepertinya hanya bisa ngomong saja alias NATO (No Action Talk Only) seperti pejabat yang selalu menjual janji untuk memperbaiki negeri ini. Membuka lapangan pekerjaan, mensejahterakan pegawai, menuntaskan kemiskinan, berantas korupsi dan banyak lagi supaya mendapat dukungan dari rakyat. Nyatanya aku saja sebagai pegawai, negeri ini sepertinya milik bangsa lain. Yang ku perjuangkan demi tanah air dan bangsa, padahal tanah tidak punya airpun harus beli dari hasil teriakan yang mengucurkan keringat. Apalagi bagi rakyat yang belum atau tak punya pekerjaan tetapi segala mahal segala harus di beli.

“Itulah persembahan dari kami pengamen jalanan, terimakasih kepada bapak sopir dan konektur, kami ucapkan selamat jalan kepada para penumpang serta partisipasinya sangat kami harapkan, semoga kedermawanan bapak dan ibu bisa merubah hidup kami jadi pejabat yang tidak korupsi karena kami tidak ingin selamanya jadi pengamen yang selalu menggangu perjalanan,“ katanya mengakhiri syair lagu lalu mengeluarkan bungkus permen dari kantong celanana dan melebarkan lubangnya.

“Terimakasih Pak !” katanya ketika kumasukan uang seribu rupiah ke dalam kantong permen pengamen itu.

“Permisi, permisi,…, terimakasih,…” itulah kalimat yang keluar dari mulutnya sambil mengasongkan bungkus permen kepada setiap penumpang. Namun yang ku dengar banyak kata permisinya yang terucap.

“Rambutan, Cawang, UKI,…” konektur meneriakkan kembali trayeknya ketika sampai di depan Mall yang sering digunakan untuk naik turun penumpang. Calon penumpang berlarian menuju pintu depan, dalam hitungan menit tempat duduk telah penuh. Tidak terkecuali disampingku duduk seorang wanita muda berpakaian minim, celana panjang sempit dan kaos strit yang tidak sampai ke pinggang seperti kurang bahan, aksesoris di tubuhnya yang kelihatan nyentrik seperti artis. Tanpa permisi acuh tak peduli siapa yang duduk di sisinya. Bus melaju agak cepat dari sebelumnya. Tiba-tiba terdengar suara musik dangdut sangat keras dari tape recorder di tengah bus, ternyata ada pengamen perempuan tanpa basa-basi langsung bernyayi.

“Ih berisik,” penumpang disebelahku menggerutu sambil mengeluarkan HP dan membetulkan posisi duduknya karena terlalu mepet dengan ku. Kemudian menyelipkannya tas tangan disebelah kirinya. Lalu jari tangan kanannya menekan-nekan keypad HP seperti sedang mengirim SMS. Aku pun bergeser mepet ke pinggir dan meletakan lipatan koran yang belum dibaca di sebelah kanan. Satu lagu sudah berlalu, pengamen selesai bernyanyi terus mengasongkan kantong permen namun pasangan ku duduk hanya berkata maaf.

Dua pengamen sudah yang telah mengikuti perjalanan ini, dua ribu rupiah sudah yang ku keluarkan untuk pengamen dan seribu rupiah untuk membeli koran. Padahal punya uang pas-pasan, naik bus saja yang ekonomi sebab takut ongkosnya tidak cukup. Tapi ketika pengamen menyodorkan kantong untuk meminta membayar jasanya merasa tak tega untuk tidak memberinya.

Perjalanan belum sapai ke pintu tol masuk. Dalam kesunyian setelah ditinggalkan pengamen tiba-tiba terdengar ringtone HP polyphonic di sebelahku. Ia membuka pesan SMS-nya, entah apa isinya namun tiba-tiba ia berkata.

“Pak sopir di depan berhenti yah!” katanya sambil mempersiapkan diri untuk turun sambil memegang tas yang tadi di simpan di dekat ku.

“Dimana bu?” tanya sopir

“Ya, sudah disini saja stop!” katanya sambil berdiri. Bus berhenti di tikungan ke kiri dekat lampu merah yang juga biasa digunakan untuk menaikan penumpang. Perempuan itu turun tanpa sempat membayar ongkos karena belum masuk jalan tol. Aku memperhatikannya karena seperti sibuk sekali, dan kugeserkan lipatan koran diduduki separuh agar tidak jatuh kena angin yang masuk dari pintu depan yang sering terbuka.

Satu orang turun, lalu ada tiga orang yang naik seorang perempuan tua dan dua pemuda. Perempuan tua ku persilahkan duduk dekat bekas perempuan yang tadi turun.

“Bu disini bu!” kataku sambil memegang koran yang tadi diduduki, namun ketika kuangkat ada yang terjatuh yaitu uang dua puluh ribuan yang melipat. Aku merasa kaget karena tidak punya uang dua puluh ribuan. Tapi kuambil saja sambil mempersilahkan perempuan tua itu duduk. Sedangkan kedua pemuda itu duduk di depan dekat pak sopir di kursi tambahan.

Ketika bus mau berangkat melanjutkan perjalanan ada yang naik lagi seorang anak perempuan sekitar sepuluh tahun dengan pakaian kumal sambil membawa kecrekan dari tutup botol yang dirangakai pada sejengkal kayu yang diberi paku. Tanpa mengucap apapun ia langsung membagikan amplop yang kelihatan kotor pada setiap penumpang.

“Asalamu alaikum, bapak, ibu, kakak, saya mohon maaf karena saya menggangu perjalanan bapak, ibu, kakak. Karena saya mohon bantuan untuk biaya sekolah dan membeli buku. Terima kasih atas bantuannya semoga Allah membalasnya.” Itulah kalimat yang ditulisnya di depan amplop dengan tulisan kelas tiga SD.

Aku menatap amplop tulisan si kecil yang dekil, rasanya sangat menyayat hati mengapa anak seusia itu harus bergelut dengan kerasnya persaingan hidup. Hati terasa pedih, betapa anak yang seharusnya bisa menikmati masa kanak-kanaknya dipermaian dengan temannya main rumah-rumahan, main boneka, atau masak-masakan tapi ia harus mengorbankan semua itu untuk mencari napkah demi sesuap nasi dan biaya sekolah.

Andai saja kecukupan mungkin sudah ku ajak pulang untuk bisa sekolah di tempat aku mengajar tanpa harus ngamen, namun apa daya keluargaku dengan dua anak saja sudah kewalahan harus kerja lain mencari uang tambahan.

Suara kecrek terdengar nyaring, nyanyian si kecil walau tak merdu terasa pilu. Aku berharap ia segera menghentikan nyanyian yang membuat aku terharu, karena makin lama terasa derita makin menerpa menyesakan dada. Uang duapuluh ribuan tanpa kupikir panjang langsung kumasukan ke dalam amplop. mungkin tidak cukup namun semoga menjadi manfaat walau bukan dari uangku sendiri. Nyanyian si kecil telah berlalu, dengan ucapan terima kasih pada setiap penumpang amplop-amplop dekil sudah dikumpulkan kembali. Sopir melambatkan jalannya bus ketika mau masuk pintu tol sambil memberi kesempatan kepada pengamen kecil yang akan turun.

Sampai kapan pekerja seni mengamen di jalananan, sampai kapan fakir miskin harus mencari nafkah di atas kendaraan, sampai kapan anak terlantar bisa sekolah tanpa mengorbankan masa kecilnya. Entah berapa pengamen lagi yang akan masuk ke mobil yang aku tumpangi sampai tujuan. Ku tatap jalan panjang dan lebar yang akan dilalui, mobil-mobil mewah melesat bagai kilat, bus-bus ekonomi berjubel penumpang hingga miring berjalan berlahan menjaga keseimbangan. ***

Jumat, 22 Mei 2009

Carpon "Dua Windu"

Carpon : Sambas Bara

DUA WINDU

Asa geus lila nempo manehna, asa deukut jeung hate padahal wawuh jeung ngaranna oge kakara tadi sore. Kitu ge teu dihaja, basa harita manehna nanyakeun jalan ka cai rek neang baturna nu didagoan can wae datang. Teu lila torojol teh baturna anu didagoan tea bari ngagorowok.

“Nining rek kamana ?”

“Puguh rek neang Titin, kamana heula sih, ka cai meuni sa taun?“ Ceuk manehna ngajawab rada baeud, tapi katempo sarina manis, jiga teu tembus ka hate anu diucapkeun nana teh. Teuing naon deui anu di omongkeun jeung baturna, da kuring anteb neuteup manehna. Ku geulis budak teh manis deuih, ceuk hate ngagerentes nu diteuteup mah angger teu malirae da hare-hare wae. Leos wae kuring ninggalkeun maranehna.

Dina hate asa aya nu diteangan, jadi pananya anu teu bisa dikedalkeun ka nu lian. Saha atuh Nining teh, jigana umurna ge kakara sabelas taun. Naha urang mana ari manehna, nah bet ngantel dina hate, lain duriat nu nyaliara tapi aya geter asih anu wening nyanding.

Bulan anu kakara medal geus teu sampurna, da tanggal geus aya likurna. Seuneu pamirunan anu ngajegur ukur tinggal ruhakna, lawang tenda geus ampir kabeh nutup, barudak tinggal hiji dua anu acan sarare. Meureun cape tadi beurang loba teuing kagiatan nu diayakeun ku panitia kemah Pramuka. Peuting nyerelek mapaykeun bulan anu tinggal sapasi, pitunduheun asa jauh, kajadian tadi beurang asa ngaganjel na kongkolak panon, saha ari Nining teh. Asa lebeng teu kapanggih, ah isuk mah rek di tanyakeun, ceuk hate ngagererentes sabab taya laratan pisan.

Peuting beuki jempling, sora suling geus teu bisa kebat da meueus baseuh ku ci ibun. Tiisna ibun janari teu mawa pikatunduheun resep nempo bulan anu tinggal sapasi kacida mencrangna, sakapeung sok nyusup kana mega teu lila kaluar deui asa leuwih ngagenclang. Hiliwir angin anu karasa beurat mawa hawa tiis nyelesep kana awak anu di simbut ku sarung.

Barudak lalaki anu satenda meuni euweuh anu lilir-lilir bangun anu cape pisan, da eta kerekna oge meuni nyalegrek. Komo si Agus mah jiga kebo meunang meuncit meuni nyegor-nyegor. Da eta keur mah awak gede si Agus mah diajak leumpang ka nu jauh katambah turun naek, meuni watir sieun katempuhan bisi kumaonam. Tapi Alhamdulillah manehna salamet bari jeung katinggaleun wae oge.

Beda deui jeung si Kardi manehna mah gesit pisan, sumangetna teu eleh ku nu lian ngan hanjakal manehna teh sakolana teuing nerus teuing moal. Lain ku belet, kacida calakan nanamah eta budak teh, tapi kaayaan kulawargana pikarunyaeun. Bayaran sakola oge loba kaliwat. Komo ari buku paket anu kudu dibeuli mah teu boga pisan, nu aya teh ukur buku tulis kitu ge teu cukup unggal mata pelajaran. Tas wadah buku luarna meuni geus rarajet, batan kulila can aya gantina. Kamari oge basa rek ngilu kemah teh teu boga kaos kaki cenah. Untung we budak kuring bogaeun dua pasang, nya dibikeun we bari jeung rada belel oge lumayan bisa keneh di pake. Bapana si Kardi ukur tukang buburuh macul sakapeung kula-kuli kanu merelukeun tanaga kasar, ari indungna cenah jadi TKW di Arab Saudi ngan nepi ka kiwari geus aya dua tauna can aya bejana. Boro-boro ngiriman duit, disuratan wae ge can pernah ngabalesan. Padahal ari nulis jeung maca mah da bisa emana si Kardi teh. Ari cicingna manehna henteu jeung bapana, kalah ka nuturkeun ninina. Eta oge basa tadi sore batur-batur mah indung bapana pada ngalongok bari marawa kadaharan anu ngareunah. Komo emana si Agus mah mawa sanggu oge meuni sarantang jeung goreng hayam dua potong, eta meureun pedah anakna lintuh pisan bisi kalaparan. Tapi ari si Kardi ukur dikiriman sangu jeung endog asin hiji kitu oge dipuhapekeun ka emana si Jae. Ngan kuring sok mere sumanget ulah reuntas harepan ku sabab kaayaan, sabab nasib jelema mah taya nu nyaho iwal ti gusti Alloh, sugan isuk pageto bisa robah nu penting urang mah ulah petot usaha jeung ngadoa.

Janari geus ngagayuh kasubuh. Hawar-hawar di sisi lembur sora anu sosolawatan tina sapeker nungguan waktu bedug subuh. Gancang lawang tenda ditutupkeun, lampu patromak anu ngagantung hareupeun tenda geus les-lesan bangun anu kurang angin, dikompa heula bisi kaburu pareum. Leos kuring ngajugjug sora anu keur sosolawatan di masjid ngarah solat subuh teu ka tinggaleun. Maksud teh mun geus solat rek sare, karasa ayeuna mah geuning tunduh panon teh. Keun wae isuk mah da tinggal upacara panutupan ieuh, sugan moal riweuh teuing ngatur budak teh. Kituna oge jadwal panutupan teh tabuh dalapan.

Diluareun tenda barudak kadenge kacida raributna, ditambah sora panitia tina sapeker geus ngawawaran ngajak kumpul, keur nyiapkeun upacara panutupan anu arek ditutup ku Kepala Dinas. Tunduh keneh geuning, ah moal ngilu upacara ceuk hate, da budakna geus harideng sorangan. Simbut sarung pindah ditalikeun kana cangkeng da geus teu karasa tiris, panaon poe geus moncorong nyorot kana tenda tina sela-sela ronggosan tangkal awi nu ngarangrangan. Sabab tenda teh ayana di tukang pisan tungtung wetan anu deukeut ka lembur. Goledag kuring ngagoler deui, sirah diganjel ku tas budak anu eusina pakean kalotor. Panon can waka dipeureumkeun, merhatikeun keneh barudak anu arek upacara panutupan bisi aya anu teu milu baris. Lawang tenda dibukakeun sangkan hawa isuk anu seger keneh asup kajero tenda, anu geus kaambeu barau hapeuk. Malum tenda teh eusina pakean anu kalotor wungkul, da kemah geus aya kana dua poena.

Bari nonggongan lawang tenda reup panon dipeureumkeun, gening asa rada peurih jiga anu seuseut. Awak karasa paregel, sakujur badan asa lungse pisan. Sababaraha kali panon di peureum-peureumkeun angger wae teu daek sare.

“Punten, punten …!“ dihareupeun tenda jiga aya sora awewe nu uluk salam.

Antepkeun wae kitu, ceuk hate. Tapi bisi perelu manehna teh, da sorana asa apal. Ngan sora saha nya da asa geus lila pisan, kakara ngadenge deui sora eta teh. Wegah pisan atuh da ieu awak meuni asa pasiksak, asup angin kitu.

“Mangga.“ Gancang we dijawab bari nguliatkeun awak, gancang ngalieuk kana lawang tenda hayang geura nyaho saha anu uluk salam teh. Teu katempo jelas saha anu datang, asa silo pisan. Kuring gigisik heula da panon teh asa peurih wae, panempo ge teu jelas kalah ka cai panonan.

“Punten Pa ieu bade tumaros. Ngaganggunya !“ nu aya diluar tenda ngomong deui, sorana asa wawuh pisan.

“Ah, henteu, ke antosan nya bu !“ bari norojol kaluar kuring ngagisik keneh, panon anu rambay caian terus disusut ku sarung anu nali keneh dina cangkeng.

Kuring kacida ngagebegna dihareupeun paadu teuteup jeung manehna, anu keur nangtung semu reuwas.

“Bono nya ieu teh ? “ manehna miheulaan nanya ku ngaran landihan nu geus lawas tara dipake. Teu gancang ngajawab, anger we neuteup manehna asa ngimpi. Panon anu karasa peurih digisik deui, hayang ngayakinkeun ieu teh lain ngimpi.

“Nina,“ Ngan kecap eta anu kaluar tina letah basa panempo kuring yakin awewe anu nangtung hareupen teh Nina.

Karasa pagaliwotana rasa dina dada, asa teu percaya manehna aya hareupeun. Dua windu geus kakubur ku waktu, laasna harepan anu karobah ku jaman. Kembang harepan dina welasan taun anu ka tukang, manehna anu kungsi ngeusian ieu hate. Ayeuna tepung deui, Nina kamana anjeun baheula bet teuaya laratan. Bono anjeun anu baheula kiwari geus batian. Meureun anjeun ge ayeuna geus aya anu boga. Urang anu geus lain-lainna deui. Najan keur kuring, sora Nina jeung keureutan beungetna asa keneh anu baheula. Imut na nu manis matak kasengsrem berang peting. Tapi kiwari anjeun ngan ukur jadi catetan nu kakotret dina hate. Teu aya deui harepan nubakal dilakonan iwal urang silih du’akeun mugi anjeun sing meunang kabagjaan jeung kasatiaan salawasna dina enggoning ngojayan sagara kahirupan.

“Ke, ke nya. Tadi teh mun teu salah Nina teh rek aya anu ditanyakeun nya?“ Kuring nanya rada gugup keneh.

“Enya, eta ari tenda putri SD Kutanagara beulah mana nya ?“

“Tuh itu, beulah kidul anu kahalangan lima tenda. Anu dihareupna make gapura tina awi koneng,“ bari nunjuk ka kidul, apal pisan da pembinana teh batur sakola keur SPG.

“Arek ka saha kitu ?“

“Eta, arek ngalongok budak. Kamari teu ka buru kalongok, da ditempat digawe meuni sibuk pisan. Malah mun teu nyempetkeun mah ayeuna oge dititah lembur.“

“Apan aya apana atuh !“

“Nya puguh oge…” Nina teu kebat nyaritana.

“Kumaha kitu ?“

“Apana teh tos teu aya, ninggalkeun ti umur dua taun.“ Nina jiga anu neger-neger maneh. Padahal nu kabaca ku kuring mah semu anu sedih pisan.

“Teu aya. Maot kitu ?“

“Enya“ Ngajawabna pondok, jiga nu kaselek ku piceurikeun.

“Karunya atuh nya budak teh, geus teu aya bapana. Nya sing sabar we Nin, da anu kawasa mah moal nguji ka umatna anu sakira teu ka badanan.“ Kuring ngupahan sugan Nina teu ka teterusan sedih.

“Mudah-mudahan.“ Nina bangun ngembeng cipanon.

“Ke, ari budak Nina teh awewe lalaki?“ kuring nyalenggorkeun tina pisediheun nana.

“Awewe“ Angger ngajawabna singket.

“Baruk awewe, saha ngaranna?“

“Yuningsih. Ari di telahna mah sok Nining wae ku baturna teh.“

“Nining!”

Ngingetkeun deui kana kajadian kamri sore balik ti cai. Paingan atuh eta budak teh asa nyangreud dina hate. Najan teu sarua percis, keureutan beungeut jeung imutna asa deukeut jeung jeung kareueut. Kapanasaran anu arek ditanyakeun geuning geus aya jawabna. Teu kudu di saha-saha Nining teh.***