Selasa, 26 Mei 2009

Cerpen "SENJA HITAM"

SENJA HITAM
Cerpen Sambas Bara.

Sudah tiga jam aku duduk di statsiun kereta untuk menunggu temanku yang janji sehari yang lalu. Entah sudah berapa puluh kereta yang singgah di statsiun tersebut. Sudah terbayang betapa gagahnya yang aku tunggu, karena semalam saja aku sampai tak bisa tidur, seakan ia telah ada di depanku dan bercengkrama, bercumbu mesra.
Aku bangun dari kursi statsiun, HP yang aku pegang terasa sangat membosankan, nomor orang yang aku tunggu tidak diaktifkan. Aku mondar-mandir seperti setrika arang yang kurang panas.
“ Nak, tolong nenek, nak,” terdengar seseorang dengan nada yang sangat parau. Aku memalingkan pandanganku kearah suara itu datang. Seorang nenek dengan wajah yang pucat, pakaiannya sangat lusuh duduk sambil memegang tas besar yang seperti mau bepergian, duduk di teras belakang statsiun tanpa alas. Pandangannya seperti kabur. Aku menghampirinya merasa kasihan.
“Ada apa nek, nenek mau kemana?” aku duduk di dekatnya.
“Nak,…kamu mau kemana, bisa tolong nenek nak, nenek tak tahu harus pergi ke mana,”
“Emangnya nenek mau mencari siapa?”
“Nenek mau ke anak nenek, dulu ada di kota Karawang, tapi nenek lupa lagi,”
“Pekerjaannya apa nek?”
“Tidak bekerja, anak nenek punya bengkel motor,” kata nenek itu seperti cape sekali, napasnya seperti tersendat-sendat. Aku bingung walaupun pertanyaan dijawab oleh si nenek, di sekitar stasiun kereta itu tidak ada bengkel motor, sekarang telah terbentang pertokoan yang mewah dan lengkap, bingung harus menunjukan ke mana.
“Namanya siapa?”
“Budi, nak. “ Aku makin bingung karena tak mungkin mencari nama itu di kota yang sudah padat dengan penduduk.
“Nak, nenek mau cerita, jangan dulu pergi!” Nenek itu memegangi tanganku seperti takut untuk ditinggalkan.
“Cerita apa nek?” Aku jadi penasaran, karena sepertinya ada yang sangat penting untuk diceritakan. Si Nenek meraih botol air mineral yang masih berisi setengah disampingnya. Setelah minum lalu memulai ceritanya.
“Nak, nenek takut tidak bisa bertemu lagi dengan Budi, kalau satu saat bertemu Budi tolong katakan anak telah bertemu dengan nenek, “ berhenti sejenak, lalu melanjutkan untuk bercerita.
“Tiga puluh tahun yang lalu, nenek datang ke kota Karawang. Saat itu masih sepi, di statsiun ini nenek turun dari kereta jurusan Surabaya. Nenek datang mengadu nasib dengan ijasah sekolah kejuruan, meninggalkan segala yang nenek punya di kampung halaman. Karena di tempat nenek di Gunung kidul susah sekali mencari pekerjaan di kantor. Nenek ingin sekali menjadi pegawai kantoran. Singkatnya nenek mendapat pekerjaan dikantor menjadi staf, dua tahun pertama nenek jalani pekerjaan itu rasanya menyenangkan sekali karena pekerjaannya tidak begitu cape walau kadang menyita waktu hingga sore hari. Pada tahun ketiga nenek mendapat jodoh dengan lelaki yang belum lama di kenal yang asalnya dari tetangga kota dimana nenek lahir,” nenek menarik napas panjang.
“Setelah melangsungkan pernikahan di kampung halaman, kembali lagi ke Karawang untuk meneruskan pekerjaan, begitu juga dengan suami nenek yang juga sama bekerja tetapi ia di bagian keamanan di tempat lain. Setelah mengarungi bahtera rumah tangga lima tahun, nenek telah dikaruniai 2 orang anak yaitu Deni dan Budi. Namun sialnya suami nenek di PHK karena terlibat pencuriaan di gudang tempat ia bekerjanya, namun ia tidak sempat di ajukan ke meja hijau karena perusahaan hanya menuntutnya barangnya kembali. Suami nenek jadi pengangguran, tapi mungkin karena ia banyak temannya hingga tidak bekerja saja ia masih bisa memberikan uang, bahkan lebih banyak dari seorang pekerja keamanan. Ketika ku tanya usaha apa yang dilakukan, ternyata ia jual beli kendaraan bermotor bahkan mengajaknya kerja sama dengan nenek, untuk memberikan modal karena untungnya sangat menjajikaan. Dan tak banyak bertanya selain mendukung usaha itu karena untungnya sangat banyak.
Dua tahun pertama usaha jual beli, suami nenek sudah bisa membuat rumah yang permanen. Tiga tahun selanjutnya nenek sudah punya mobil sedan, dan sepeda motor dua buah. Pendek kata nenek sekeluarga sudah subur, tidak ada yang memandang sebelah mata. Bahkan ketika dimanapun berpapasan dengan orang yang kenal sepertinya ia menganggukan kepala. Nenek terbuai dengan gelimangan dunia, belakangan nenek tahu ternyata usaha suami nenek itu jual beli mobil hasil curian. Tapi apa boleh buat terlanjur basah dalam benak nenek, keuntungan dapat diraih sebanyak-banyaknya. Bahkan akhirnya nenek pun ikut transaksi,” nenek terdiam.
“Lalu bagaimana nek?” aku penasaran.
“Ketika nenek sedang senang-senangnya menikmati kemewahan itu, suami nenek mulai jarang pulang. Mulai dari kehilangan semalam sampai berhari-hari, ketika pulang ia sudah mabuk minuman. Kemudian nenek kehilangan selama satu minggu, ada temanya yang memberi tahu ke rumah katanya suami nenek ada di penjara karena menjadi penadah dalam kasus perampokan mobil di jalan tol. Lalu aku berusaha mengeluarkannya dari penjara dengan tebusan yang cukup banyak. Rupanya makin berani dengan kejadian itu,” nenek menarik napasnya lama sekali
“Suami nenek jarang pulang lagi, dirumah sangat kesepian Deni dan Budi ia banyak main di luar bahkan jarang pulang karena mungkin telah beranjak remaja, hanya ketika tak punya uang saja mereka bisa bertemu setelah itu pergi lagi. Dan yang paling menyedihkan kadang-kadang mereka juga pulang mabok. Nasehat tak pernah dihiraukan. Nenek mencari tahu keberadaan suami nenek di mana, namun kali ini ternyata suami nenek sering main cewek di tempat remaang-remang,” Nenek sepertinya kekeringan tenggorokannya, bicaranya sampai terbatuk-batuk. Aku semakin penasaran dengan cerita nenek. Setelah minum nenek melanjutkan kembali ceritanya.
“Dalam kesepian itu nenek sering pulang kampung karena hanya itu obat yang bisa menenangkan hati, aku sering mangkir kerja, bertemu sanak saudara di kampung halaman. Dan karena seringnya nenek pulang kampung, nenek bertemu dengan kekasih lama hingga akhirnya hubungan kami berlanjut sering bertemu, dan sering melakukan yang diluar batas. Kami sering pergi ke penginapan dan hotel. Entah sudah berapa kali tak sempat menghitungnya hingga akhirnya merasa biasa. Rupanya naas ada pada diri nenek, karena satu saat nenek disergap keamanan berada di suatu kamar hotel. Itulah kehidupan masa lalu nenek yang berada di lingkaran setan,” kata nenek seperti penuh penyesalan. Lalu melanjutkannya kembali.
“Nenek di usir dari rumah, karena kejadian itu. Tak satu pun anak nenek membela ketika suami nenek mengadili dan memululi di hadapan Deni dan Budi. Nenek tak sanggup membela diri akhirnya pergi dari rumah yang menjadi hasil jerih payah selama belasan tahun. Tidak pulang kampung karena sangat malu, sementra nenek menumpang dirumah teman, lalu nenek pergi ke kota lain dengan laki-laki yang mau mengajak nenek berumah tangga, saat itu nenek terbilang masih muda umur sekitar empat puluhan. Nenek nekad walau status nenek dengan bapaknya Deni belum cerai. Rupanya kemalangan nenek tidak sampai di situ, karena ternyata suami yang mempersunting nenek mempunyai keluarga yang sah, pertengkaran pun sering menimpa nenek. Yang pada akhirnya nenek ditinggalkan begitu saja seperti sampah.”
“Nenek kehilangan segalanya, tujuh belas tahun nenek telah meninggalkan Deni dan Budi, dengan hati nekad nenek kembali ke Karawang untuk menemui kembali yang telah menjadi keluarga nenek. Sunggguh malah menambah luka dalam hati ini, ketika sampai di rumah yang pernah ditinggalkan ternyata rumah telah berpindah tangan karena telah disita pihak bank, sedangkan suami nenek telah kawin lagi. Yang paling menyedihkan Deni, ia mati tertembak saat melakukan kejahatan curanmor. Sedangkan Budi sudah berkeluarga dan punya sebuah bengkel,” Nenek bicaranya terhenti sambil mengusap air matanya dengan saputangan yang lusuh.
“Apa nenek bertemu tidak dengan Budi?”
“Setelah bertanya pada bekas tetangga sebelah dengan jelas, nenek bisa menemukan alamat Budi dekat statsion, tetapi hingga sore nenek belum bisa menemui Budi karena tidak ada di rumah, sedangkan anak istrinya tidak kenal sama sekali, walaupun sudah menerangkan beberapa kali istrinya budi tetap menolak untuk menerima nenek adalah mertuanya, karena katanya ibunya Budi telah meninggal ketika Budi usia 15 tahun. Nenek pun diusir karena tak sempat bertemu Budi hingga sekarang,”
“Berarti nenek sekarang ke dua kali akan mengunjungi rumah Budi?” tanyaku dengan penuh rasa kasihan.
“Iya, tapi sekarang nenek sudah putus harapan, bagaimana kalau nenek di usir lagi, nenek mau minta maaf, karena tidak bisa mendidiknya, nenek pun menyadari ini semua kesalahan nenek, nenek sungguh menyesal…” nenek menangis dengan napas yang tersenggal-senggal. Aku membiarkan si nenek merangkul di pangkuanku, biarlah mengeluarkan kesedihannya.
Aku kebingungan setelah mendengarkan cerita nenek, aku tak tega untuk meninggalkannya. Walaupun sebenarnya aku dari tadi ingin segera pulang ketika mendengar cerita si nenek di sergap di hotel ketika berdua dengan lelaki lain yaitu bekas pacarnya. Karena sepertinya ini mengingatkan saya yang telah berbohong pada suami dan anak-anak akan pergi ke Surakarta menengok saudara yang sedang sakit. Padahal aku janjian dengan lelaki yang baru kenal dua kali di kereta exsekutif ketika aku berangkat ke Jakarta melakukan tugas dinas luar.
Tiba-tiba ringtone Hpku berbunyi nada panggil, aku segera mengambilnya dalam tas. Ternyata dari Haryono orang yang sudah empat jam aku tunggui.
“Halo, kamu ada di mana sayang, saya ada di depan statsiun nih?” katanya dengan nada lirih.
“Aku ada di teras statsiun dekat toilet!,” jawabku agak kesal. Tanpa menunggu jawaban aku langsung menutup HPku. Namun tidak sampai satu menit Haryono datang menemui.
“Min, maaf ya saya terlamabat, “ kata Haryono, memanggil nama samaranku dengan nada seperti ingin dikasihani. Belum aku sempat menjawab, tiba-tiba nenek yang ada di pangkuanku terbangun.
“Kamu, Budi kah, nak?” kata nenek yang belum sempat aku tanyakan namanya.
“Siapa ini Min?” tanya Haryono sambil memandang nenek yang masih kelihatan menangis. Aku belum sempat menjawab Haryono berkata lagi.
“Iya, saya Budi Haryono, siapa ibu ini?” kata Haryono sambil menatap nenek. Aku tercengang tapi tidak berkata apapun
“Oh, Budi anakku!” nenek merangkul Haryono, Haryono terdiam seperti patung tak terucap sepatah pun, aku seperti menyaksikan kisah drama pertemuan seorang ibu dengan anaknya yang ditinggalkan lama sekali, yang akhirnya berpelukan .
Aku terbangun, kutinggalkan mereka berdua tanpa basa basi. Aku berjalan ke luar areal stasiun, menyusuri pinggir pertokoan di panasnya sinar mentari. Langkah demi langkah terasa ada penyesalan. Makin jauh dari statsiun makin terasa ada dosa yang menjadi beban dalam diri ini.
Nada panggil HPku berdering beberapa kali, aku malas untuk mengangkatnya. Sepertinya tidak tahu harus berbuat apa. Apa yang harus ku katakan bila pulang menghadapi suami dan anakku yang akan bertanya mengapa aku tidak jadi pergi menengok saudara yang sakit. Aku memasuki café yang terlihat sepi, hanya softdrink yang aku pesan, aku menyendiri merenungi kejadian yang baru saja teralami.
HPku bererdering lagi, kuliahat ternyata dari Haryono, lalu ku on-kan.
“Min, terimakasih yah, ini adalah ibuku. Mungin kamu telah tahu segalanya, ibu telah bicara padaku, ibu telah menceritakan kepadamu, maafkan aku Min, … “ kata Haryono. Tanpa sepatah katapun yang ku ucapkan langsung ku tutup.
Hatiku agak tenang, mungkin itu jalan terbaik yang sudah Tuhan gariskan, aku tidak sampai terjadi dengan Haryono alias Budi Haryono seorang pengusaha sukses yang berawal dari seorang bengkel motor di dekat Statsion Kereta Api Karawang yang kini pindah ke Jakarta punya showroom mobil.
Terimakasih Tuhan, engkau telah mengingatkan aku. Maafkan aku, anakku, suamiku, maafkan aku!.***

Tidak ada komentar: