Selasa, 26 Mei 2009

Cerpen "CERMIN TANPA BINGKAI"

Cerpen Sambas Bara
CERMIN TANPA BINGKAI

Seusai sholat subuh Pak Guru Aang membantu istrinya di dapur membuat gorengan bala-bala dan goreng pisang yang akan dijajakan pagi-pagi di depan rumahnya. Yang biasa dijajakan untuk anak-anak sekolah. Karena Pak Aang menempati rumah dinas yang ada di lingkungan sekolah dasar.
“Bu jangan terlalu banyak membuat bala-balanya !” kata Pak Aang sambil menengok ke istrinya yang sedang membuat adonan.
“Memangnya kenapa Pak ?” isrtrinya menyahut.
“Kemarin juga kan tidak habis, sekarang sudah mulai musim paceklik mungkin anak-anak banyak yang tidak diberi uang,” jawab Pak Aang.
“Ah, enggak apa-apa Pak, tidak habis juga biasa kita makan dari pada kita jajan ke warung orang.“
“Iya sih, tapi kira-kira saja bu, supaya sisanya itu habis untuk kita makan,” Pak Aang mengingatkannya dengan kalimat yang lain. Karena sudah beberapa hari ini dagangannya tersisa terus padahal biasanya kurang, kadang-kadang Bu Aang harus menggoreng lagi ketika anak sekolah sudah masuk dan dijajakan ketika sekolah istirahat.
“Ini Pak, sudah selesai adonannya saya mau sholat dulu tolong digorengin ya,” kata istrinya sambil berdiri.
“Ya sini,” kata Pak Aang sambil memegang panci adonan yang diberikan istrinya. Lalu meneruskan pekerjaannya untuk menggoreng.
Keriangan anak memenuhi halaman sekolah, seusai menyimpan sepeda digarasi yang sangat sederhana terbuat dari bambu, anak-anak lalu masuk kelas untuk menyimpan tasnya lalu keluar lagi, tapi ada juga yang langsung menghampiri pedagang jajanan. Namun tidak sedikit anak-anak yang tidak ikut jajan karena tidak dibekali uang oleh orang tuanya, maklum saja musim paceklik sedang berjalan untuk menunggu musim panen tiba masih harus menunggu dua bulan lagi. Sambil menunggu waktu jam belajar tiba Pak Aang menungui dagangannya dan Ia membuka-buka buku pelajaran sekolah untuk persiapan ia mengajar. Sedangkan istrinya masih didapur untuk mempersiapkan sarapan pagi untuk Pak Aang berupa segelas teh tubruk.
“Pak ini beli bala-bala dua !” kata Rini sambil memberikan uang lima ratus rupiah yang ditemani Yani.
“Ya ini kembaliannya Rin, kamu tidak jajan Yani ?” Pak Aang memberikan uang kembalian tiga ratus pada Rini.
“Tidak diberi bekal Pak, !” kata Yani dengan pelan.
“Bapaknya belum pulang-pulang sudah seminggu, “ kata Rini
“Memangnya kemana Bapak kamu Yan ?”
“Kata Ema ke Jakarta Pak, mau itu kuli bangunan“ Yani menjawab.
“Oh, “ Pak Aang seperti sudah mengerti banyak. Walau haya sepatah kata yang ia ucapkan. Karena Pak Aang hampir hapal semua dengan keadaan keluarga siswa yang ada di sekolah itu. Begitupula dengan orang tuanya yang kebanyakaan buruh tani. Tidak heran lagi karena bayaran saja yang harus dibayar tiap bulan kebanyakan dibayar dua kali dalam setahun yaitu ketika panen tiba. Penghasilan lain nyaris tidak ada karena jauh dari keramaian kota bahkan pasar desa pun tidak ada. Selain pasar kaget yang ada seminggu sekali tiap hari jumat ketika panen tiba.
“Yan, kalau tidak di beri bekel kamu berum sarapan ya ? “ Pak Aang bertanya lagi.
“Belum,” Yani menjawabnya .
“Ini Yan buat kamu !” kata pak Aang sambil memberikan dua potong goreng pisang. Lalu Yani menerimanya dengan malu-malu.
“Terimakasih Pak,” kata Yani sambil meninggalkan Pak Aang.
Pak Aang memperhatikan anak-anak di halaman sekolah. Para pedagang jajanan di sekolah tidak luput dari perhatiannya yang ada di dekat garasi sepeda. Ada penjual Balor, agar-agar, cilok, es mambo, nasi uduk dan macam-macam makanan yang disenangi anak-anak. Dari sekian penjaja makanan anak itu yang Pak Aang perhatikan ternyata dalam tiga hari terakhir adalah penjual cilok selalu dikerumuni anak-anak, mulai dari pagi hingga lonceng berbunyi. Namun Pak Aang tidak tahu jelas mengapa begitu rame, karena melihatnya agak jauh dari rumah dinas tempat Ia berdagang menjajakan dagangannya.
Lonceng berbunyi memecahkan keriangan anak yang sedang bermain di halaman sekolah. Pak Aang bergegas untuk masuk kelas satu setelah hampir semua anak tidak ada yang ada di luar. Setelah memberikan tugas pada jam pertama di kelas satu untuk menulis lalu Ia masuk ke kelas dua yang disatukan dengan kelas tiga dalam satu ruangan, makaksudnya akan menenangkan kegaduhan yang kedengaran ribut ke luar kelas karena gurunya belum datang. Bagi Pak Aang sudah tidak merasa menjadi beban dengan pekerjaan seperti itu karena sudah terbiasa, padahal Ia mengajar dua kelas tetap tiap harinya. Yaitu setelah kelas satu pulang diteruskan dengan kelas empat di ruangan yang sama. Karena tenaga pengajar disekolahnya hanya ada empat orang, itupun dengan Kepala sekolah yang harus mengajar di kelas lima. Serta ruangan kelas yang hanya tiga yang bisa dipakai, tiga ruangan kelas lagi tidak bisa dipakai karena sudah sangat rapuh dindingnya, atapnya bocor, dan lantainya sudah tidak ada ubinnya. Tinggal menunggu roboh ketika angin tiba bila tidak segera diperbaiki
Kelas satu sudah keluar disambung dengan kelas empat. Setelah membaca doa Pak Aang tidak lupa untuk mengabsen siswanya, ternyata satu orang tidak masuk dari tiga puluh dua siswa yaitu Deni. Tapi kata temannya tadi Deni ada di luar.
Tok, tok-tok suara pintu diketuk.
“Masuk !” kata Pak Aang Sambil melihat ke daun pintu yang tertutup rapat. Terdengar pintu didorong dari luar, dari balik pintu muncul anak yang tadi diabsen tidak ada yaitu Deni.
“Maaf Pak, saya terlambat,” kata Deni sambil berdiri di depan meja guru.
“Dari mana kamu Deni kok terlambat, dan itu bawa apa dikantong plastik ?” Pak Aang bertanya sambil menatap Deni yang kelihatan takut.
“A ada Pak, diluar,” menjawabnya gugup.
“Tadi itu Pak, main Tamiya,” temannya yang duduk di belakang ikut menyahut.
“Benar itu Deni ?”
“I iya Pak,” kata Deni tambah gugup
“Mana Tamiyanya ?”
“Ini Pak,” kata Deni sambil memberikan kantong plastik.
“Bapak kan sudah melarang, kalau sekolah jangan membawa mainan karena akan menggangu pelajaran,” kata Pak Aang.
“Tidak Pak, saya tidak bawa dari rumah,“ jawab Deni.
“Ini dari mana ?” tanya Pak Aang sambil menunjukan Tamiya yang belum selesai dirakit. Tetapi tidak ada jawaban, Deni sepertinya tidak mau terus terang.
“Ini dari mana ?” Pak Aang bertanya lagi, tapi Deni masih tetap diam.
“Itu Pak dari tukang cilok, hadiah jembel,” kata Nani yang duduk di depan, yang disusul oleh teman-temannya dengan kalimat yang sama.
“Sst, sudah jangan ribut !” kata Pak Aang sambil menempelkan telunjuk ke bibirnya.
“Betul itu Deni ?” Pak Aang penasaran.
“Be, betul Pak,” jawab Deni ketakutan karena merasa bersalah.
“Ya kalau begitu kamu sekarang duduk, ini tamiya akan Bapak simpan di lemari kalau pulang akan Bapak berikan dengan catatan tidak boleh dibawa ke sekolah”
“Iya Pak,” jawab Deni lalu pergi ke tempat duduknya.
“Silahkan bukunya dibuka !” kata Pak Aang agak keras untuk mengimbangi suara keibutan anak-anak kelas dua dan tiga yang gurunya belum datang juga, padahal sudah diberi tugas tadi oleh Pak Asep guru kelas enam.
“Coba perhatikan kedepan,” kata Pak Aang sambil mengetukan penghapus ke papan tulis berkali-kali sampai semua anak tidak ada yang bicara.
“Kejadian seperti ini bapak berharap tidak terulang lagi, berkali-kali Bapak ingatkan bahwa yang dilarang oleh pemerintah dan agama itu salah satunya yaitu judi. Dan judi itu banyak sekali macamnya, bukan saja main kartu, main unyeng atau pasang togel tapi membeli jembel pun itu termasuk judi, mengapa !, karena disitu ada yang kalah ada yang menang atau banyak yang dirugikan dan sedikit sekali yang diuntungkan. Contoh dari temanmu ini hanya satu orang yang dapat tamiya sedangkan yang lainnya tidak dapat apa-apa selain peremen telor cicak dua butir yang dihargai duaratus rupiah. Padahal uang duaratus rupiah itu bisa kamu dibelikan dengan makanan yang bisa buat sarapan,” Pak Aang mengucapkannya dengan lantang agar bisa diresapi anak didiknaya, karena itu merupakan apresepsi dari pelajaran pengetahuan sosial yang akan ia lanjutkan.
Menjelang tengah hari pelajaran selesai, anak-anak berbenah diri untuk pulang. Tak lupa Pak Aang berpesan bahwa ngaji sore selepas asar dirumahnya tetap berjalan kecuali hari Jumat karena ada kegiatan pramuka di sekolah. Pola ini bergulir tiap waktu dijalani dengan ikhlas tapi tak banyak membawa perubahan pada penghidupan Pak Aang. Bertahun-tahun mengabdi pada negeri, bahkan keringat mengucur deras tak kala meredam anak-anaknya untuk tidak berteriak minta makan. Kesederhanaan, kearifan, kesabaran menjadi Tauladan. Laksana cermin. Cermin bagi lingkungan keluarganya, cermin bagi teman propesinya. Namun cemin tanpa bingkai, bikai kekayaan, binkai jabatan, bahkan bingkai status karena Pak Aang hanya sebagai guru kontrak yang baru diangkat dari guru sukwan yang sudah belasan tahun.***

Tidak ada komentar: