Selasa, 26 Mei 2009

Cerpen "TULUGASU"

Cerpen
TULUGASU
Oleh : Sambas Bara

Belasan tahun sudah aku jalani. Pekerjaan ini aku pilih karena tak ada pilihan yang lebih baik di benakku. Ini juga yang menjadi cita-cita sejak kecil ketika aku sekolah dasar.
“Doni apa cita-cita kamu setelah besar nanti ? “ tanya Ibu Yani kepada Doni yang menjadi teman akrabku di SD.
“Saya ingin jadi polisi bu,”
“Emangnya mengapa kamu ingin jadi polisi Don ?”
“Polisi kan gagah, pakaiannya bagus, punya pistol, dan kalau ada orang jahat akan saya tembak, dor !” kata Doni sambil menjulurkan kepalan tangan kedepan seperti memegang pistol dan menembakannya.
“Yah, bagus sekali. Mudah-mudahan kamu menjadi polisi yang baik, penegak hukum yang adil dan bijaksana ya. Kalau kamu cita-citanya apa Asep ?” bu Yani mengarahkan pandangannya kepada ku yang duduk di sebelah Doni.
“Saya ingin jadi guru bu,”
“Wah, baik sekali ingin jadi guru, memangnya kenapa sih ingin jadi guru?”
“Guru kan enak, seperti ibu bekerjanya tidak cape. Siang sudah pulang, juga kata pak ustad pekerjaan guru itu sangat mulia karena memberikan ilmu kepada orang lain, asal kita iklas.”
“Benar Asep, pekerjaan guru itu mulia sekali cita-cita kamu pasti tercapai, asalkan kamu rajin belajar ya Sep,“ kata ibu Yani metatapku. Itulah yang selalu ingat dalam pikiranku, walau kejadian itu telah terjadi tiga puluh tahun yang lalu, ketika aku duduk di sekolah dasar kelas satu.
“Ru motornya sudah baru lagi ni,“ terdengar suara yang bertanya sangat akrab dengan panggilanku di tempat aku mangkal, itu membuyarkan lamunan yang asik duduk di atas jok motor.
“Ah kamu Man, “
“Betul kan baru, yang lama kemana ru?” Maman bertanya lagi.
“Dijual, aku butuh duit man.”
“Kok butuh duit jual motor yang jelek malah punya motor yang bagus,“
“Yah motor sekarang kan murah, cuma berat kedepan,”
“Berat apanya ru, emang ban depannya lain apa ukurannya?”
“Ih bukan, maksudnya kedepannya kan harus dicicil tiga tahun!”
“Ah bisa aja, guru kan punya gaji tiap bulan, habis bulan tinggal ngantar ke deler. Kalau saya ngandelin ngojek mana bisa gonta-ganti motor, ini saja dulu uang mukanya dari mertua dan cicilannya sering lambat karena mengandalkan ngojek saja.” Maman mengangap aku lebih senang dari pada hidupnya. Tidak Tahu kalau sepeda motor itu adalah gadaian dari orang.
Padahal kalau aku ceritakan sejujurnya mungkin Maman akan lebih mensyukuri hidupnya. Aku tidak bisa berkata terus terang kepadanya walau sebenarnya ingin sekali mengutarakannya. Aku sangat menjaga wibawa propesiku sebagai guru yang harus menjadi contoh dan teladan buat masyarakat terutama di lingkunganku sendiri. Sebenarnya uang hasil penjualan motor itu aku pakai untuk menutupi utang yang sudah menumpuk karena gaji tiap bulan tidak mencukupi. Kebutuhan sehari-hari saja selalu kurang walau aku punya uang tambahan dari hasil ngojek.
Mungkin karena salah langkah dari awalnya. Ketika aku dapat pinjaman uang dari bank tiga tahun yang lalu sebesar tiga puluh juta yang cicilannya hampir menghabiskan semua gajiku. Tadinya mau aku belikan rumah sebab selama ini hanya menempati rumah kontrakan. Namun waktu itu aku sangat tergiur oleh teman yang mengajak menanamkan modal untuk usaha kerja sama bagi hasil. Sehingga kalau kita hitung katanya tiap bulan kita mendapat laba tidak kurang dari satu juta, hanya laba tersebut hanya bisa diberikan setelah tiga bulan berjalan. Dan itu membuat aku berambisi untuk mengikutinya. Berarti uangku yang dua puluh juta akan utuh sedangkan tiap bulannya akan mendapat satu juta bahkan lebih jika perusahaan yang saya tanami investasi itu untung besar.
Uang segera aku berikan kepada temanku, karena sudah sangat mengenalnya, dan ia juga menjadi penanam modal yang sudah mendapatkan laba satu kali yang nilainya satu juta. Sedangkan uang lebihnya dari pinjaman dari bank itu aku belikan sepeda motor untuk menggantikan posisi sepeda kumbang.
Hari berganti hari, harapan makin mendekat, tiga bulan sudah aku lalui. Keuntungan pertama yang dijanjikan ternyata menjadi kenyataan. Satu juta aku dapatkan hanya dengan ongkang-ongkang. Berarti aku tidak harus susah payah lagi ngojek di pangkalan berebut penumpang dengan tukang ojek lain.
Bulan selaanjutnya, laba yang aku tunggu ternyata hanya dibanyar separuhnya dengan alasan yang kurang jelas, bahkan bulan berikutnya tidak mendapatkan sepeser pun. Aku pun berusaha menanyakannya kepada teman yang menjadi perantara, dia pun tidak bisa berbuat banyak dan tidak bisa mempertanggungjawabkan semua itu karena ia pun sama menanamkan modalnya. Akhirnya uang itu ludes tanpa cerita. Dan sejak saat itu aku menjadi tukang ojek lagi di perapatan yang menjadi pangkalannya sampai sekarang.
Itulah yang menjadi sumber bencana bagi keluargaku, semangat kerja menurun ke sekolah jarang datang, kalaupun datang mungkin belum waktunya pulang sekolah sudah aku tinggalkan. Entah sudah berapa kali Kepala Sekolah mengingatkan agar tidak terlalu banyak meninggalkan sekolah. Rasanya di sekolah seperti kerja bakti karena setiap tanggal bulan sudah tidak mendapatkan gaji. Perapatan dan jalan adalah tumpuan hidupku untuk menghidupi anak dan istri, tukang ojek adalah temanku yang menjadi saingan untuk mendapatkan penumpang. Sesekali aku menjadi mekelar jual beli, bahkan tidak jarang menjadi perantara jasa penarikan uang tabungan di bank yang menjadi simpanan endapan yang seharusnya tidak bisa diambil sebelum cicilannya lunas. Apa saja yang sekiranya bisa menghasilkaan uang aku kerjakan asal tak merugikan orang lain.
Sepertinya aku telah menjadi pendusta, aku mengajarkan kedisiplinan tapi aku yang memberi contoh tidak disiplin dengan jarang masuk mengajar. Aku yang selalu menyuarakan hidup hemat ternyata aku memberi contoh banyak utang. Posisiku mengkin terperosok dalam jurang yang hanya berpegangan pada rumput-rumput kecil yang rapuh, hanya tinggal menunggu waktu jatuhnya. Itu aku sadari dan itu yang sangat tidak diharapkan walau melangkah di jalan yang salah.
Hidup ini makin sulit rasanya, hampir setiap koprasi dan BPR yang menawarkan pinjaman aku selalu mengambilnya. Sehingga untuk membayarnya harus tutup lubang gali sumur (tulugasu). Maka tak ada pilihan lain, atas saran dari istriku untuk meminjam uang di bank menjadi pilihan yang paling meyakinkan agar semua utang bisa terbayar lunas. Walaupun cicilannya masih dua tahun lagi.
“Pak kapan uangnya cair?” istriku menayakan ajuan kridit yang diberikan melalui bendahara.
“Belum ada bu, mudah-mudahan saja minggu depan sudah ada jawaban,”
“Kira-kira kita dapat berapa pak?”
“Mungkin kalau kita dikabulkan lima puluh, sisanya kira-kira tiga puluh jutaan”
“Kalau dapat tiga puluhan, kita beli motor dulu saja Pak yang sepuluh jutaan, motor yang dapat gadai minta di tebus,”
“Iya maksud bapak juga begitu, mudah mudahan saja lancar. Ibu harus bisa membantu memanfaatkan uang itu agar bisa berkembang. Ingat bu, kita harus membayarnya selama delapan tahun.”
“Ibu punya rencana buka warung pak, agar bapak tidak terlau cape ngojek. Lagi pula malu kan, bapak sering meninggalkan sekolah. Sekolah kan kewajiban bapak.”
“Bapak juga sadar bu, tapi mau bagaimana lagi selama ini kan kita sangat terjepit keuangan.”
Seminggu telah berlalu, hari ini aku kembali tidak masuk sekolah. Namun kali ini aku meminta izin kepada kepala sekolah akan mengambil uang di bank. Maksudnya agar tahu karena bagai manapun aku harus menghargainya ia sebagai pimpinanku, bahkan mungkin tanpa tandatangannya ajuan pinjaman ini tak mungkin di kabulkan oleh pihak bank. Ku ajak istriku, dengan langkah pasti.
Di ruangan bank aku antri tidak terlalu lama, karena persyaratannya sudah lengkap. Setelah menghadap pimpinan bank dengan sedikit penjelasan langsung ke teller mengambil uang. Perasaan lega hinggap di dadaku walau itu uang pinjaman, mungkin jadi dewa penolong dalam kesempitan ini. Sambil berdiri aku menatap wajah-wajah di sekitar ruangan antri nasabah, terlihat wajah-wajah cerah penuh harapan. Seakan akan segera meraih kenyataan dari sebuah impian. Tatapan ku terpaku pada wanita tua yang kelihatan masih bugar, ia duduk di kursi paling pinggir tempat menunggu antrian. Ia mengunakan kerudung raut wajahnya seperi aku kenal, bahkan ketika aku menatapnya agak lama ia sepertinya pura-pura tidak tahu. Tapi yakin, aku kenal wanita itu. Sambil berpikir aku mendekatinya.
“Ibu ini saya Asep bu,” kata ku menghampirinya sambil mengulurkan tangan, karena sangat yakin itu Ibu Yani guru ku waktu di SD.
“Eh, Asep!,...yang dulu sebangku dengan Doni kan?” sambil mengulurkan tangannya, lalu kuraih dan ku cium tangannya
“Betul bu,”
“Asep kerja di mana sekarang?”
“Berkat doa ibu, cita-cita saya tercapai bu jadi guru,”
“Syukurlah kalau begitu sep, kalau Doni di mana?”
“Wah, dia mah enak bu, apa ibu belum bertemu, Doni kerja di sini menjadi Kepala Keamanan bank ini bu!”
“Oh ya, syukurlah walau tidak jadi polisi tapi sama saja bisa menjaga keamanan.”
“Ibu mau apa di sini?”
“Ibu mau nabung, insya Allah tahun depan ibu mau menunaikan ibadah haji Sep!”
Pembicaraan dengan ibu terasa sangat mengobati kerinduanku, sampai hampir lupa memperkenalkan istriku yang ada di samping. Bu Yani yang menjadi pemacu semangat untuk meraih cita-cita menjadi guru, sehingga dalam kondisi apapun aku selau ingat pesan Ibu Guruku untuk rajin belajar. Hingga akhirnya cita-cita itu tercapai dengan gemilang. Ibu Yani menanamkan keyakinan di hatiku.***

Tidak ada komentar: