Sabtu, 23 Mei 2009

Cerpen "Ngamen"

NGAMEN

Cerpen :Sambas Bara

Ketika bus yang kunaiki di halte, kursi penumpang belum separuhnya terisi. Aku menempati kursi depan sebelah kiri yang masih kosong, biasanya dipakai duduk dua orang. Bus tidak melaju cepat, konektur berteriak di pintu depan menawarkan pada setiap orang yang berdiri di pinggir jalan. Di halte selajutnya mobil berhenti, konetur turun untuk menanyai calon penumpang.

“Kemana bu?, Rambutan, UKI, duduk, duduk, ayo masih kosong!,”

“UKI yah, kosong ngak? “ kata seorang ibu setengah baya yang menuntun anaknya sambil berjalan menuju pintu depan.

“Ayo bu masih kosong,” jawab konektur, sambil melambaikan tangan kanannya dan tangan kirinya menunjuk ke pintu depan. Di pintu sudah berdiri seorang laki-laki muda seperti bukan penumpang yang tadi masuk ketika konektur keluar. Lalu memegang tangan anak ibu yang baru naik itu dan menuntunnya ke kursi kosong di belakang, ibu tadi mengikutinya lalu duduk dengan anaknya persis dibelakangku dan laki-laki itu kembali ke depan dan tetap berdiri. Kemudian masuk lagi dua wanita muda membawa dua kardus bekas mie intan yang di ikat dengan tali plastik, laki-laki tadi menolongnya dengan mengangkat kardus dan menyimpannya di depan.

“Terus saja teh, itu masih kosong,” katanya sambil menujuk ke belakang.

Bus melanjutkan perjalanan menyusuri jalan kota yang macet oleh angkutan kota, becak, dan sepeda motor. Angkutan kota yang selalu menghalangi jalan karena tidak mau ke pinggir ketika menaikan atau menurunkan penumpang, juga tukang becak yang tak mau mengalah selau mengayuhnya ditengah jalan, tak menghiraukan ketika ada kendaraan yang lebih cepat di belakangnya. Pengguna sepeda motor yang selau mengambil arah kanan selap-selip di jalan yang sempit. Sepertinya pengguna jalan hanya sebagian kecil yang tahu dan sadar untuk mematuhi peraturan lalu-lintas sehingga mau antri dan tertib.

“Aqua, aqua…”

“Koran, koran,…”

“Ayo seribuan, silet, peniti, katenbat,…ayo seribu, semua serba seribu!,” teriakan para pedagang asong silih berganti sambil jalan dari depan ke bekang menghampiri setiap penumpang. Ketika tidak ada yang membeli mereka langsung turun keluar untuk menaiki kendaraan selajutnya yang ada di belakang.

“Asalamu alaikum, selamat pagi, salam sejahtera, bapak-bapak, ibu-ibu, tante dan tetehnya, maaf saya menggangu perjanan para penumpang bus jurusan UKI, Rambutan ini, “ kata laki-laki yang sejak tadi berdiri di depan yang selalu membantu penumpang naik.

“Setelah tadi teman-teman saya naik silih berganti menawarkan dagangannya, sekarang giliran saya dan teman-teman pengamen jalanan untuk mengiringi perjalanan anda semua, “ katanya, lalu di ikuti musik di tengah bus suara okolele dan gitar yang mungkin sudah dipersiapkan dari tadi, karena aku tak sempat memperhatikan yang ada di belakang.

Aalunan musik jalanan para pengamen tampaknya tidak terlau menghibur perjalanan, walau lagu-lagunya bertema kritik sosial dan politik karena terasa sudah basi apalagi di jaman repormasi yang tak terarah ini. Sepertinya hanya bisa ngomong saja alias NATO (No Action Talk Only) seperti pejabat yang selalu menjual janji untuk memperbaiki negeri ini. Membuka lapangan pekerjaan, mensejahterakan pegawai, menuntaskan kemiskinan, berantas korupsi dan banyak lagi supaya mendapat dukungan dari rakyat. Nyatanya aku saja sebagai pegawai, negeri ini sepertinya milik bangsa lain. Yang ku perjuangkan demi tanah air dan bangsa, padahal tanah tidak punya airpun harus beli dari hasil teriakan yang mengucurkan keringat. Apalagi bagi rakyat yang belum atau tak punya pekerjaan tetapi segala mahal segala harus di beli.

“Itulah persembahan dari kami pengamen jalanan, terimakasih kepada bapak sopir dan konektur, kami ucapkan selamat jalan kepada para penumpang serta partisipasinya sangat kami harapkan, semoga kedermawanan bapak dan ibu bisa merubah hidup kami jadi pejabat yang tidak korupsi karena kami tidak ingin selamanya jadi pengamen yang selalu menggangu perjalanan,“ katanya mengakhiri syair lagu lalu mengeluarkan bungkus permen dari kantong celanana dan melebarkan lubangnya.

“Terimakasih Pak !” katanya ketika kumasukan uang seribu rupiah ke dalam kantong permen pengamen itu.

“Permisi, permisi,…, terimakasih,…” itulah kalimat yang keluar dari mulutnya sambil mengasongkan bungkus permen kepada setiap penumpang. Namun yang ku dengar banyak kata permisinya yang terucap.

“Rambutan, Cawang, UKI,…” konektur meneriakkan kembali trayeknya ketika sampai di depan Mall yang sering digunakan untuk naik turun penumpang. Calon penumpang berlarian menuju pintu depan, dalam hitungan menit tempat duduk telah penuh. Tidak terkecuali disampingku duduk seorang wanita muda berpakaian minim, celana panjang sempit dan kaos strit yang tidak sampai ke pinggang seperti kurang bahan, aksesoris di tubuhnya yang kelihatan nyentrik seperti artis. Tanpa permisi acuh tak peduli siapa yang duduk di sisinya. Bus melaju agak cepat dari sebelumnya. Tiba-tiba terdengar suara musik dangdut sangat keras dari tape recorder di tengah bus, ternyata ada pengamen perempuan tanpa basa-basi langsung bernyayi.

“Ih berisik,” penumpang disebelahku menggerutu sambil mengeluarkan HP dan membetulkan posisi duduknya karena terlalu mepet dengan ku. Kemudian menyelipkannya tas tangan disebelah kirinya. Lalu jari tangan kanannya menekan-nekan keypad HP seperti sedang mengirim SMS. Aku pun bergeser mepet ke pinggir dan meletakan lipatan koran yang belum dibaca di sebelah kanan. Satu lagu sudah berlalu, pengamen selesai bernyanyi terus mengasongkan kantong permen namun pasangan ku duduk hanya berkata maaf.

Dua pengamen sudah yang telah mengikuti perjalanan ini, dua ribu rupiah sudah yang ku keluarkan untuk pengamen dan seribu rupiah untuk membeli koran. Padahal punya uang pas-pasan, naik bus saja yang ekonomi sebab takut ongkosnya tidak cukup. Tapi ketika pengamen menyodorkan kantong untuk meminta membayar jasanya merasa tak tega untuk tidak memberinya.

Perjalanan belum sapai ke pintu tol masuk. Dalam kesunyian setelah ditinggalkan pengamen tiba-tiba terdengar ringtone HP polyphonic di sebelahku. Ia membuka pesan SMS-nya, entah apa isinya namun tiba-tiba ia berkata.

“Pak sopir di depan berhenti yah!” katanya sambil mempersiapkan diri untuk turun sambil memegang tas yang tadi di simpan di dekat ku.

“Dimana bu?” tanya sopir

“Ya, sudah disini saja stop!” katanya sambil berdiri. Bus berhenti di tikungan ke kiri dekat lampu merah yang juga biasa digunakan untuk menaikan penumpang. Perempuan itu turun tanpa sempat membayar ongkos karena belum masuk jalan tol. Aku memperhatikannya karena seperti sibuk sekali, dan kugeserkan lipatan koran diduduki separuh agar tidak jatuh kena angin yang masuk dari pintu depan yang sering terbuka.

Satu orang turun, lalu ada tiga orang yang naik seorang perempuan tua dan dua pemuda. Perempuan tua ku persilahkan duduk dekat bekas perempuan yang tadi turun.

“Bu disini bu!” kataku sambil memegang koran yang tadi diduduki, namun ketika kuangkat ada yang terjatuh yaitu uang dua puluh ribuan yang melipat. Aku merasa kaget karena tidak punya uang dua puluh ribuan. Tapi kuambil saja sambil mempersilahkan perempuan tua itu duduk. Sedangkan kedua pemuda itu duduk di depan dekat pak sopir di kursi tambahan.

Ketika bus mau berangkat melanjutkan perjalanan ada yang naik lagi seorang anak perempuan sekitar sepuluh tahun dengan pakaian kumal sambil membawa kecrekan dari tutup botol yang dirangakai pada sejengkal kayu yang diberi paku. Tanpa mengucap apapun ia langsung membagikan amplop yang kelihatan kotor pada setiap penumpang.

“Asalamu alaikum, bapak, ibu, kakak, saya mohon maaf karena saya menggangu perjalanan bapak, ibu, kakak. Karena saya mohon bantuan untuk biaya sekolah dan membeli buku. Terima kasih atas bantuannya semoga Allah membalasnya.” Itulah kalimat yang ditulisnya di depan amplop dengan tulisan kelas tiga SD.

Aku menatap amplop tulisan si kecil yang dekil, rasanya sangat menyayat hati mengapa anak seusia itu harus bergelut dengan kerasnya persaingan hidup. Hati terasa pedih, betapa anak yang seharusnya bisa menikmati masa kanak-kanaknya dipermaian dengan temannya main rumah-rumahan, main boneka, atau masak-masakan tapi ia harus mengorbankan semua itu untuk mencari napkah demi sesuap nasi dan biaya sekolah.

Andai saja kecukupan mungkin sudah ku ajak pulang untuk bisa sekolah di tempat aku mengajar tanpa harus ngamen, namun apa daya keluargaku dengan dua anak saja sudah kewalahan harus kerja lain mencari uang tambahan.

Suara kecrek terdengar nyaring, nyanyian si kecil walau tak merdu terasa pilu. Aku berharap ia segera menghentikan nyanyian yang membuat aku terharu, karena makin lama terasa derita makin menerpa menyesakan dada. Uang duapuluh ribuan tanpa kupikir panjang langsung kumasukan ke dalam amplop. mungkin tidak cukup namun semoga menjadi manfaat walau bukan dari uangku sendiri. Nyanyian si kecil telah berlalu, dengan ucapan terima kasih pada setiap penumpang amplop-amplop dekil sudah dikumpulkan kembali. Sopir melambatkan jalannya bus ketika mau masuk pintu tol sambil memberi kesempatan kepada pengamen kecil yang akan turun.

Sampai kapan pekerja seni mengamen di jalananan, sampai kapan fakir miskin harus mencari nafkah di atas kendaraan, sampai kapan anak terlantar bisa sekolah tanpa mengorbankan masa kecilnya. Entah berapa pengamen lagi yang akan masuk ke mobil yang aku tumpangi sampai tujuan. Ku tatap jalan panjang dan lebar yang akan dilalui, mobil-mobil mewah melesat bagai kilat, bus-bus ekonomi berjubel penumpang hingga miring berjalan berlahan menjaga keseimbangan. ***

Tidak ada komentar: